Selasa, 14 Februari 2012

Penguasaan Konsep, Dasar-Dasar Berpikir

PENGUASAAN KONSEP: DASAR-DASAR BERPIKIR
Penerjemah: Dharma Kesuma dan Atang Andiwijaya

Skenario

Para siswa kelas VIII ibu Stern di Houton, Texas, sedang mempelajari karakteristik-karakteristik 14 kota terbesar AS.  Mereka telah mengumpulkan data tentang ukuran, suku bangsa, jenis industri, lokasi, dan sumber-sumber alam kota-kota tersebut.
Melalui kerja kelompok para siswa telah mengunpulkan informasi dan meringkasnya menjadi bagan-bagan atau tabel-tabel yang sekarang ditempel di kelas.  Pada suatu hari Rabu dalam bulan November, ibu Stern berkata,  “Sekarang mari kita mencobakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk membantu kita memahami kota-kota ini secara lebih baik.  Ibu sudah mengidentifikasi sejumlah konsep yang membantu kita membandingkan dan mempertentangkan kota-kota-kota itu.  Ibu akan memberi label pada bagan-bagan itu dengan ya atau tidak.  Jika kamu memperhatikan informasi yang tersaji dalam bagan itu dan berpikir tentang penduduk-penduduk dan karakteristik-karakteristik lainnya dari kota-kota itu, kamu akan mengidentifikasi gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran ibu.  Ibu akan mulai dengan sebuah kota yang berlabel ya dan kemudian dengan sebuah kota yang berlabel tidak, dan seterusnya.  Pikirkanlah apa yang sama pada kota-kota yang berlabel ya tersebut.  Kemudian tuliskan setelah ya yang kedua gagasan yang menurut kamu menghubungkan kedua kota itu, dan tetap menguji gagasan-gagasan itu sepanjang kegiatan ini berlangsung.  Mari mulai dengan kota kita sendiri,” ia berkata.  “Houston, adalah sebuah kota yang berlabel ya.”
Para siswa memperhatikan informasi tentang Houston, ukurannya, industri-industrinya, lokasinya, komposisi suku-suku bangsanya.  Kemudian ibu Stern menunjuk ke kota Baltimore.
“Baltimore adalah tidak,” ibu Stern berkata.  Kemudian ia menunjuk ke San Jose.  “Ini adalah sebuah ya lagi,” ia berkomentar.
Para siswa mencari-cari sesaat informasi tentang San Jose.  Dua atau tiga siswa mengangkat tangan mereka.
“Saya pikir saya tahu apa itu yang dimaksud oleh ibu,” seseorang siswa berkata.
“Tunggu, simpan dulu gagasanmu itu,” ibu Stern menjawab.  “Perhatikan lebih lanjut apakah gagasanmu itu benar atau tidak.”  Ibu Stern kemudian memilih ya yang lainnya—Seatle.  Detroit adalah tidak.  Miami, adalah ya.  Ibu Stern melanjutkan kegiatannya hingga semua siswa berpikir bahwa mereka mengetahui konsep apa yang dimaksud, dan kemudian mereka mulai mendiskusikan konsep-konsep itu.
“Menurutmu apa itu, Jill?”
“Semua kota yang berlabel ya memiliki iklim sedang,”  Jill berkata;  “yaitu, tidak ada satupun dari kota itu yang beriklim sangat dingin.”
“Kota Salt Lake sangat dingin,” seorang siswa lainnya membantah.
“Betul, tetapi tidak sedingin seperti di Chicago, Detroit, atau Baltimore,” seorang siswa yang lainnya menyangkal.
“Saya pikir kota-kota yang berlabel ya itu semuanya adalah kota-kota yang tumbuh secara cepat.  Masing-masing kota itu meningkat lebih daripada 10 persen selama sepuluh tahun terakhir.”  Terdapat sebuh diskusi tentang hal ini.
“Semua kota yang berlabel ya memiliki banyak industri yang berbeda-beda,”  beberapa relawan lainnya berkata.
“Itu betul, tetapi hampir semua kota itu demikian,” sahut siswa yang lainnya.
Pada akhirnya para siswa memutuskan kota-kota yang berlabel ya adalah kota-kota yang sedang tumbuh cepat dan memiliki iklim yang relatif sedang.
“Itu benar,” Ibu Stern bersepakat.  “Itu sama persis dengan apa yang ada dalam pikiran ibu.  Sekarang mari kita melakukan hal ini lagi.  Kali ini saya ingin memulai dengan Baltimore, dan sekarang kota ini adalah ya.”
Kegiatan ini diulang beberapa kali.  Para siswa belajar bahwa Ibu Stern telah mengelompokkan kota-kota atas dasar perhubungan mereka dengan sungai, sumber-sumber alam, komposisi suku bangsa, dan beberapa dimensi lainnya.
Para siswa mulai memperhatikan pola-pola dalam data mereka.  Akhirnya Ibu Stern berkata, “Sekarang masing-masing dari kamu mencoba mengelompokkan kota-kota dalam sebuah cara yang menurut kamu penting.  Kemudian bergiliran pimpin kami melakukan kegiatan ini, membantu kami melihat kota-kota yang mana yang kamu tempatkan dalam sebuah kategori.  Kemudian kita akan mendiskusikan cara-cara yang  dapat kita lakukan dalam melihat kota-kota dan bagaimana kita dapat menggunakan berbagai kategori untuk berbagai kepentingan.”    

                     

Dalam skenario ini Ibu Stern sedang mengajari para siswanya bagaimana berpikir tentang kota-kota.  Pada saat yang sama ia mengajari mereka tentang proses kategorisasi.  Ini adalah suatu perkenalan terhadap model mengajar yang disebut penguasaan konsep        (concept attaintment).  Ibu Stern menginginkan para siswa belajar berpikir secara konseptual tentang apa yang sedang dipelajari dan bagaimana memiliki sebuah alat          (a tool) untuk menciptakan konsep dan untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Membantu anak-anak mempelajari konsep secara efisien adalah suatu kepentingan fundamental dari persekolahan.  Hingga sekarang (buku ini terbit tahun 1980), bagaimanapun, banyak pendidik yang tidak membedakan secara sadar pembelajaran konsep dari tipe pembelajaran lainnya, meskipun banyak model mengajar lainnya yang berguna adalah tidak efisien untuk pembelajaran konsep.

Kategorisasi, Pembentukan konsep, dan Penguasaan Konsep

Semua kegiatan kategorisasi melibatkan pengidentifikasian dan penempatan peristiwa-peristiwa kedalam kelas-kelas atas dasar penggunaan petunjuk-petunjuk (kriteria) tertentu dan mengabaikan yang lain-lainnya.  Dimisalkan seorang mahasiswi senior sedang mendeskripsikan lelaki idealnya pada seseorang yang sedang mencoba mengetahui hal itu.  Si mahasiswi senior ini mencoba mengkomunikasikan kosepnya, dan temannya mencoba menangkap (to attain) konsep itu.  Pada akhirnya, di tengah-tengah pendeskripsiannya temannya menyela:
“Ah, saya tahu! Ia berkata.  “Kamu menyukai lelaki pendek yang suka tertawa, dan kamu cenderung menjauhi laki-laki yang yang sangat baik dan sangat pintar.”
“Kamu sudah menangkapnya, tapi bagaimana kamu bisa tahu?”
“Sepanjang waktu ketika kamu sedang berbicara, saya selalu berpikir tentang mengapa kamu menempatkan masing-masing laki-laki kedalam sebuah daftar pilihan.  Secara bertahap, saya mulai mendapatkan gagasan yang mendasari pilihan kamu itu.  Misalnya, kebanyakan dari laki-laki yang terpilih banyak tertawa dan pendek, dan hanya seorang mahasiswa yang baik, dan ia memperoleh nilai ujian dengan belajar keras dan memilih pelajarannya dengan penuh perhitungan.”
Proses yang digunakan oleh seorang juru-tebak adalah salah satu dari proses penguasaan/penangkapan kosep, “pencarian dan pendaftaran ciri-ciri yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh dari yang bukan contoh-contoh dari berbagai kategori.”  Ciri-ciri pembeda konsep dalam kasus ini adalah “banyak tertawa” dan “pendek.”  Dalam penangkapan-konsep konsepnya sudah tersedia.  Dalam kasus laki-laki pilihan dan bukan pilihan di atas, tugasnya adalah menentukan dasar dari contoh-contoh “ya” dan “tidak.”  Berbeda halnya dengan pembentukan konsep yang adalah kegiatan pembentukan kategori-kategori baru; pembentukan konsep merupakan kegiatan penemuan/penciptaan (invention).  Jika kedua mahasiswa senior itu sudah menyusun daftar nama-nama dari semua laki-laki yang mereka kenal dan kemudian mengelompokkan laki-laki ini sesuai dengan kesamaan-kesamaannya, kedua senior ini terlibat dalam kegiatan pembentukan konsep.
Menurut Bruner, aktivitas kategorisasi  sesungguhnya memiliki dua komponen, kegiatan pembentukan konsep dan kegiatan penguasaan konsep.  Ia menyatakan bahwa pembentukan konsep merupakan langkah pertama kearah penguasaan konsep.  Perbedaan antara pembentukan konsep dan penguasaan konsep, meskipun tidak kentara, bersifat penting karena:  (1) kepentingan dan tekanan dari kedua bentuk ketegorisasi ini berbeda;  (2) langkah-langkah dari kedua proses berpikir ini tidak sama;  dan (3) kedua proses mental ini mempersyaratkan proses pengajaran yang berbeda.  Model Berpikir Induktif Hilda Taba adalah sebuah contoh dari sebuah strategi pembentukan konsep.  Dalam model ini para siswa mengelompokkan contoh-contoh atas suatu dasar dan membentuk kelompok-kelompok itu sebanyak yang mereka inginkan.  Masing-masing kelompok ini mengilustrasikan sebuah konsep yang berbeda.  Dalam penguasaan konsep hanya ada satu konsep.  Dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang dipasok oleh guru, para siswa mencoba menentukan identitas dan definisi dari konsep itu.

Pengajaran Penguasaan Konsep

Persyaratan untuk pengajaran penguasaan konsep adalah minimal:  sesusunan contoh-contoh yang sama dalam beberapa hal dan berbeda dalam hal-hal lainnya.  Seseorang menghadapi contoh-contoh ini dan harus menemukan atau diminta menunjukkan masing-masing contoh apakah mewakili konsep yang harus dikuasai atau tidak.  Masing-masing contoh menyediakan informasi potensial tentang karakteristik atau ciri dari konsep yang harus dikuasai.
Proses pemilahan contoh-contoh yang berlabel “ya” dan “tidak” adalah sebuah peristiwa dari permainan penguasaan konsep.  Transkrip di bawah ini memperlihatkan seorang guru menggunakan permainan penguasaan konsep dengan sebuah konteks yang relatif sederhana.

Seorang guru (di AS) menyajikan daftar kata-kata berlabel “ya” dan “tidak” di bawah ini kepada para siswa berusia enam tahun:

FAT ya

FATE tidak

MAT ya

MATE tidak

RAT ya

RATE tidak

Saya mempunyai sebuah daftar di sini.  Perhatikan bagaimana sejumlah kata dapat memiliki label “ya” dan sejumlah kata lainnya dapat memiliki label “tidak.” Kemudian cobalah tebak daftar kata-kata di bawah ini, mana yang seharusnya berlabel “ya” dan mana yang “tidak.”

KITE

CAT

DATE

HAT

LATE

RAP

Sebelum menyajikan sejumlah contoh kepada para siswa, guru hendaknya sudah menganalisis konsepnya, pertama-tama mengidentifikasi ciri-ciri esensialnya.  Kemudian memilih dengan cermat contoh-contoh, memastikan bahwa setiap contoh positif mengandung semua atribut dari konsepnya.  Guru juga memutuskan bahwa tidak terdapat informasi yang tidak perlu dan mengacaukan dalam contoh-contoh atau informasi yang disajikan.
Biasanya, atribut-atribut dalam contoh-contoh yang kita jumpai dalam kehidupan harian tidak begitu jelas.  Misalnya, di toko bahan makanan, buah-buahan dikemas dalam kotak-kotak dalam kotak-kotak atau dibungkus oleh kertas tisu.  Bayangkanlah diri anda untuk sesaat bahwa anda seorang anak kecil yang menyertai ayah anda ke toko bahan makanan itu.  Anda belum memiliki konsep-konsep tentang berbagai buah-buahan ini.  Bagaimana anda akan mengetahui bahwa bukan kotak atau kertas tisu yang merupakan suatu ciri esensial dari konsep apel atau jeruk?  Kemasan, sama halnya seperti bentuk, warna, dan rasa, adalah sebuah atribut dari contoh-contoh yang anda jumpai, tetapi, seperti harganya, kemasan bukanlah atribut esensial konsep buah-buahan.  Ciri-ciri nir-esensial tersebut merupakan noisy attributes (atribut kebisingan, pengganggu) dari suatu konsep, yang menambah kesulitan untuk menemukan ciri-ciri esensial dari konsep tersebut.
Ketika kita sedang mengajari para siswa konsep-konsep baru, upayakan untuk menyingkirkan “kebisingan” dari contoh-contoh yang kita sajikan kepada mereka.  Hal ini relatif mudah untuk dilakukan apabila contoh-contoh konsepnya adalah benda-benda atau kata-kata singkat seperti dalam contoh pengucapan vokal di atas.  Dalam kehidupan nyata, data yang menjadi sumber konsep bersifat jauh lebih kompleks.  Datanya dapat berupa keseluruhan buku, film, atau artikel-artikel koran.  Guru-guru sekolah menengah bekerja dengan konsep-konsep yang khususnya kompleks dan abstrak, seperti “budaya”, “protagonis,” dan “figur tragis.”  Untuk konsep-konsep yang kompleks ini, atribut-atribut dan nilai atributnya tidak jelas, dan contoh-contohnya sering berisi atribut-atribut pengganggu.  Sebuah ilustrasi mengenai sebuah konsep yang lebih sulit dengan contoh-contoh pengganggu dapat dilihat dalam ilustrasi yang berikut.  Seorang guru sudah membagikan beberapa lembar kertas yang memuat beberapa paragraf singkat.  Mereka ini sudah mengalami prosedur-prosedur penguasaan konsep sebelumnya.

Guru:   Masing-masing bacaan yang berikut diberi label ya atau tidak, bergantung pada apakah bagian bacaan itu mewakili sebuah konsep yang ada dalam pikiran ibu.  Ketika kamu membaca bacaan-bacaan itu, pikirkan konsep-konsep yang mungkin diwakili oleh bacaan-bacaan yang berlabel ya.  Atribut-atribut yang relevan dengan konsep yang dimaksud adalah tindakan-tindakan orang antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengkomunikasikan perasaannya.  Kamu boleh mencatat atribut- atribut dari masing-masing contoh di bagian tepi kertas ini.  Silakan baca contoh pertama ini. 

CONTOH SATU
Sekelompok anak-anak sedang bermain di lapangan bermain.  Seorang anak melakukan kesalahan yang menyebabkan kubu kelompok lawan memenangkan sebuah poin.  Anak-anak yang lainnya mengerumuni anak yang berbuat kesalahan itu, memarahinya. Seseorang anak membelanya.  Secara bertahap, keriuhan mereda, dan mereka semua kembali ke permainan. (ya)

Guru: Bacaan di atas menyediakan sebuah contoh dari konsep tersebut.  Apa konsepnya?  Apakah perdebatan, atau kemarahan, atau hukuman, atau permainan yang dimainkan?  Apa kemungkinan-kemungkinannya?  Mari kita beralih ke bacaan yang berikutnya, yang tidak memuat konsep yang dimaksud.

CONTOH DUA
Empat orang anak sedang duduk di lantai sebuah ruangan.  Lantainya dilapisi dengan sebuah karpet, di atasnya mereka bermain kelereng.  Pada saat tertentu, terdapat suatu pertengkaran. Bagaimanapun, masalahnya segera dibereskan, dan permainan dimulai lagi.  (tidak)

Guru: Bacaan ini tentang sebuah permaian, maka kita harus menyingkirkan permainan yang dimainkan sebagai suatu ungkapan komunikasi emosi. Terdapat sebuah perdebatan, maka kita harus menyingkirkan kemungkinan ini.  Apa konsep-konsep lainnya yang dicontohkan dan yang tidak dicontohkan dalam bacaan ini dan bacaan yang sebelumnya? Sekarang mari kita beralih pada contoh lain yang menyajikan konsep kita ini.

CONTOH TIGA
Ini adalah sat-saat yang tidak menyenangkan.  Seorang ibu yang sedang resah menidurkan anak-anaknya.  Ia mendapatkan seorang anaknya belum menggosok gigi. Si ibu ini memarahi anak itu, menyuruhnya kembali ke kamar mandi dan menggosok giginya.  Ketika ia kembali, si ibu tersenyum, anak-anak bergerak perlahan ke tempat tidur, dan lampu dimatikan.  (ya)

Guru: Apa konsepnya?  Apakah hukuman?  Mungkinkah pemecahan konflik? Mari kita memperhatikan sebuah bacaan lagi yang menyajikan konsep yang dimaksud itu?

CONTOH EMPAT
Di sebuah arena balap, seorang anak laki-laki melintasi garis finis jauh mendahului para pesaingnya dalam balapan satu mil.  Dua pembalap berikutnya mendekati garis itu, mengerahkan segala cara untuk memperebutkan tempat kedua.  Ketika mereka beristirahat setelah balapan itu, orang tua dan teman-teman mereka mengerumuni mereka, memuji-muji perjuangan mereka. (ya)

Guru: Kita harus menyingkirkan hukuman, karena tidak ada dalam contoh ini.  Jika kita mengembangkan sebuah konsep yang lebih umum, seperti “hal-hal yang orang-orang lakukan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain,”  atau sebuah konsep yang mencakup “kesetujuan dan ketidaksetujuan,”  maka kita sudah mengidentifikasi prinsip yang mendasari pilihan-pilihan kita.  Konsepnya ialah “sangsi” (ungkapan setuju dan tidak setuju).  Contoh-contoh positif mengandung atribut-atribut dalam bentuk tingkah laku pemberian penghargaan dan hukuman yang khusus. Contoh yang berlabel-tidak tidak mengandung atribut apapun yang relevan dengan kesetujuan dan ketidaksetujuan, tapi semua contoh yang lainnya (contoh-contoh berlabel ya) mengandung atribut tersebut.          

Teori Konsep

Bruner melihat suatu konsep sebagai memiliki lima unsur:  (1) nama;  (2) contoh-contoh (positif dan negatif);  (3) atribut-atribut/karakteristik-karakteristik (esensial dan tak-esensial);  (4) nilai atribut;  dan (5) definisi.  Memahami sebuah konsep artinya mengetahui semua unsur konsep ini.
Nama ialah istilah yang diberikan pada sebuah kategori.  Contoh positif ialah acuan konkrit dari suatu konsep dan contoh negatif ialah acuan konkrit yang tidak dapat dimasukkan kedalam sebuah konsep.  Apel ialah sebuah nama untuk sebuah kategori buah-buahan tertentu.  Contoh positif apel ialah apel ke-1, apel ke-2, apel ke-3, dan seterusnya yang kebetulan ada di sebuah meja (misalnya).  Contoh negatif dari apel ialah kesemek ke-1, kesemek ke-2, kesemek ke-3, dan seterusnya yang juga kebetulan ada di sebuah meja tersebut.
Unsur ketiga dan keempat dari konsep ialah atribut dan nilai atribut.  Atribut ialah ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik umum yang menyebabkan kita menempatkan contoh-contoh kedalam kategori yang sama dan tidak kedalam kategori yang lainnya.  Apa yang menyebabkan kita menempatkan apel ke-1, apel ke-2, apel ke-3, dan seterusnya kedalam kategori apel?  Barangkali ukuran, warna, rasa, susunan seratnya yang menyebabkan kita mengelompokkannya sebagai apel.  Tidak semua ciri bersifat esensial sekalipun kita sering menjumpainya sebagai selalu menyertainya.  Misalnya, di pasar raya kita selalu menjumpai apel-apel yang selalui disertai dengan harganya.  Bagaimanapun harga apel bukanlah ciri pokok dari apel.  
Konseptualisasi akan lebih mudah jika objek-objek dan peristiwa bersifat lebih baku.  Pepohonan berbeda-beda dalam ukuran, ukuran lilitan, dan berat jenisnya.  Apel tidak memiliki warna tunggal.  Dalam hal ini kita berbicara tentang rentang nilai dari suatu atribut.  Warna apel barangkali terentang dari hijau ke merah.
Pada akhirnya, definisi ialah pernyataan yang mengungkapkan atribut-atribut esensial dari suatu konsep.  Contohnya:  segitiga ialah bangun datar dengan tiga sisi;  penganan ialah produk yang dapat dimakan yang merupakan kombinasi dari sejumlah bahan mentah dan diiubah melalui panas atau dingin.  Sebuah definisi biasanya berkembang dipenghujung proses penguasaan konsep.  Guru biasanya sering menggunakannya sebagai sebuah sarana yang hendaknya digunakan siswa untuk meringkas temuan-temuan mereka tentang atribut-atribut.  Sebuah definisi yang “tepat” mencerminkan penggunaan unsur-unsur konsep yang lainnya secara berhasil.

Definisi, konotatif dan denotatif

Bruner menyatakan bahwa definisi ialah pernyataan yang mengungkapkan atribut-atribut esensial dari suatu konsep.  Ajaran logika yang klasik mengajari kita tentang definisi konotatif dan denotatif.  Diharapkan ajaran logika ini turut membantu melengkapi teori Bruner tersebut.  Definisi kononatif ialah definisi yang menyatakan genus (kelas/kategori) dan ciri esensial dari suatu konsep.  Dalam kasus definisi segitiga di atas, genus dari segitiga ialah bangun datar;  dan ciri esensialnya ialah bangun datar dengan tiga sisi.  Adapun definisi denotatif ialah rumusan penjelasan suatu konsep yang menunjukkan acuan konkrit (contoh positif) dari konsep tersebut.  Dalam kasus segitiga ini, definisi denotatifnya disampaikan melalui gambar segitiga.   

MODEL MENGAJAR

Model Penguasaan Konsep yang pertama ialah penguasaan konsep  dalam kondisi resepsi.  Sebuah variasi yang kedua dari model ini ialah permainan penguasaan konsep di bawah kondisi seleksi, dan variasi yang ketiga adalah analisis konsep dalam data nir-organisasi.  Model Resepsi lebih langsung dalam mengajari siswa unsur-unsur sebuah konsep.  Model Seleksi memungkinkan siswa menerapkan aktivitas konseptual secara lebih aktif.  Model yang ketiga merupakan transfer teori konsep dan kegiatan penguasaan konsep pada latar kehidupan nyata dengan menggunakan data nir-organisasi.

Model Berorientasi-Resepsi

Tahap-tahap dan kegiatan-kegiatan Model Resepsi diringkas dalam tabel di bawah ini.

Sintaks      Tahap satu melibatkan penyajian data kepada pebelajar.  Masing-masing satuan data adalah sebuah contoh atau bukan-contoh dari suatu konsep.  Datanya dapat berupa peristiwa-peristiwa, orang-orang, benda-benda, cerita-cerita, gambar-gambar, atau satuan lainnya.  Para pebelajar diberitahu bahwa terdapat sebuah gagasan yang dimiliki oleh semua contoh positif;  tugas mereka adalah mengembangkan sebuah hipotesis tentang konsep tersebut.  Contoh-contoh disajikan secara beraturan dan diberi label ya atau tidak.  Para siswa diminta membandingkan dan membuktikan atribut-atribut dari berbagai contoh-contoh.  (Guru atau para siswa dapat membuat catatan tentang atribut-atribut itu.)  Akhirnya, mereka diminta menyebutkan konsep mereka dan menyatakan definisi konsepnya sesuai dengan atribut-atribut esensialnya.  (Hipotesis mereka tidak dikonfirmasi hingga tahap berikutnya, dan dengan sejumlah konsep para siswa dapat tidak mengetahui nama konsepnya, yang dapat tersedia ketika konsepnya dikonfirmasi.)
Dalam tahap dua, para siswa menguji penguasaan konsep mereka, pertama dengan mengidentifikasi secara tepat contoh-contoh tambahan yang tanpa label dan kemudian dengan mengupayakan contoh-contoh sendiri.  Setelah hal ini guru (dan siswa) mengkonfirmasi atau menolak  hipotesis asli mereka, memperbaiki pilihan mereka mengenai konsep atau atribut sesuai dengan keperluannya.
Dalam tahap tiga, para siswa mulai menganalisis strategi-srategi yang mereka gunakan untuk menguasai/menangkap konsep.  Sebagaimana sudah ditunjukkan sejumlah siswa pada awalnya mencoba konstruk-konstruk yang luas dan secara bertahap mempersempitnya;  siswa lainnya memulai dengan konstruk-konstruk yang lebih tegas.  Para siswa dapat mendeskripsikan pola-pola mereka:  apakah mereka memusatkan perhatian pada atribut-atribut atau konsep-konsep, apakah mereka berbuat demikian  sekali pada sebuah waktu atau beberapa kali sekaligus, dan apa yang terjadi ketika hipotesis mereka tidak terkonfirmasi.  Apakah mereka mengubah strategi mereka?  Secara bertahap, mereka dapat membandingkan efektivitas berbagai strategi.

Sistem Sosial     Sebelum mengajar dengan Model Resepsi, guru memilih suatu konsep, memilih dan mengorganisasi material menjadi contoh-contoh positif dan negatif, dan meruntunkan contoh-contoh.  Banyak bahan pengajaran, khususnya buku ajar, tidak dirancang deangan sebuah cara yang berkaitan dengan hakikat belajar konsep sebagaimana dideskripsikan oleh psikologiwan pendidikan.  Dalam banyak kasus guru-guru akan harus mempersiapkan contoh-contoh, mengambil gagasan-gagasan dan material dari buku-buku teks dan sumber lainnya, kemudian merancangnya sedemikian rupa hingga atribut-atributnya jelas dalam hubungannya dengan contoh-contoh positif dan negatif.  Ketika menggunakan Model Resepsi, guru bertindak sebagai mesin perekam, merekam hipotesis-hipotesis (konsep-konsep) dan atribut-atribut ketika para siswa berbicara.  Guru juga memasok contoh-contoh tambahan sesuai dengan kebutuhan.  Tiga fungsi utama guru selama kegiatan penguasaan konsep berorientasi-resepsi adalah merekam, memberi petunjuk (cue), dan menyajikan data tambahan.  Bagi pemula dalam pemanfaatan penguasaan konsep, bahan dan kegiatan yang sangat terstruktur bersifat membantu.

Prinsip Reaksi    Selama kegiatan belajar-mengajar guru hendaknya bersikap mendukung hipotesis-hipotesis siswa—menekankan, bagaimanapun, makna hipotesis yang bersifat hipotetis—dan menciptakan suatu dialog untuk menguji masing-masing hipotesis.  Dalam tahap akhir model ini, guru hendaknya mengalihkan perhatian para siswa ke arah analisis konsep-konsep mereka dan strategi-strategi berpikir mereka, juga disini sikap guru hendaknya mendukung.  Guru hendaknya mendorong analisis kebaikan berbagai strategi daripada berupaya mencari sebuah strategi yang terbaik untuk semua oraang dalam semua situasi.

Sistem Pendukung     Pelajaran penguasaan konsep mempersyaratkan material yang sudah dirancang agar konsp-konsep tersajikan dalam material itu, dengan contoh-contoh positif-negatif yang dapat ditunjukan kepada para siswa.  Hendaknya ditekankan bahwa tugas siswa dalam strategi penguasaan konsep bukanlah menciptakan konsep-konsep baru, tapi menguasai konsep-konsep yang sebelumnya sudah dipilih guru.  Karena itu, sumber-sumber data perlu diketahui sebelumnya dan aspek-aspek kegiatan penguasaan konsep diperjelas.  Ketika para siswa disodori sebuah contoh, mereka mendeskripsikan karakteristik-karakteristiknya, yang kemudian dapat dicatat di sebuah kolom di papan tulis.


Model Berorientasi-Seleksi

Perbedaan utama antara Model Resepsi dengan Model Seleksi adalah dalam pelabelan dan peruntunan contoh-contoh.  Dalam Model Seleksi, sebuah contoh tidak diberi label hingga siswa diminta menjawab apakah ini sebuah contoh yang ya atau sebuah contoh yang tidak.  Perbedaan lainnya ialah bahwa para siswa dapat mengajukan contoh-contoh sendiri dalam rangka penguasaan konsep.  Para siswa juga mengontrol runtunan contoh-contoh dengan memilih contoh-contoh yang ingin mereka selidiki.  Penyelusuran dan analisis atribut-atribut dalam Model Seleksi dengan demikian tidak seformal seperti dalam Model Resepsi.  Para siswa dapat didorong untuk membuat catatan-catatan tentang hipotesis-hipotesis dan atribut-atribut mereka.  Pada umumnya, Model Seleksi menempatkan pertanggungjawaban untuk penguasaan konsep dan penyelusuran atribut-atribut di tangan para siswa.  Sintaksnya sama dengan Model Resepsi, tapi kegiatan-kegiatan dan peranan-peranan dalam tahap satu dan dua agak berbeda.

Model Material Nir-organisasi

Keuntungan yang sesungguhnya dari penguasaan konsep terjadi ketika kita mulai menerapkannya pada material yang tidak bersusunan untuk membantu kita menyadari atribut-atribut yang digunakan.  Pernyataan-pernyataan verbal mengenai konsep-konsep tampak pada keseluruhan material tertulis dan atribut-atribut yang menjadi sumber pemahaman konsepnya tidak selalu eksplisit.  Misalnya, perhatikanlah bacaan yang berikut yang berasal dari sebuah buku ajar sekolah menengah, yang disusun untuk mengajari para siswa atribut-atribut dari sebuah konsep tentang kebijakan militer AS, kebijakan pertahanan.

Sebagaimana dunia itu sendiri menunjukkan, pertahanan adalah sebuah kebijakan defensif. . . .
Kebijakan militer defensif kita bertumpu pada gagasan bahwa AS harus cukup kuat untuk menangkal serangan apapun dan tetap memiliki kekuatan untuk menghancurkan si penyerang.  Jika Kaum Komunis sadar bahwa kita dapat menghancurkan mereka bahkan ketika mereka melancarkan pukulan pertamanya, mereka tidak mungkin untuk melakukan suatu perbuatan agresif.
Dalam tahun-tahun baru-baru ini AS telah mengambil langkah-langkah yang berikut  untuk memastikan bahwa kita mampu menyerang balik setelah suatu serangan atomik:  pembangunan kapa selam Polaris, yang, karena mobilitasnya, tidak dapat dihancurkan secara gampang;  penyembunyian misil-misil antar benua . . .;  pembangunan sistem peringatan berdaya jangkau luas-dunia untuk menghadapi ancaman;  dan penyiagaan dua puluh empat jam pembom-pembom nuklir.
Sifat defensif kebijakan militer AS menciptakan kesulitan-kesulitan tertentu.  Suatu musuh tidak hanya dapat memilih waktu untuk melakukan serangan, ia juga dapat memilih tempat dan caranya.  Karena itu, AS tidak hanya harus memelihara pasukan-pasukan di banyak bagian dunia, tetapi AS juga harus memelihara kekuatan-kekuatan yang sangat mudah bergerak (mobile) yang dapat ditugaskan ke daerah bermasalah manapun dalam waktu singkat.  Masalah-masalah yang paling serius, dengan suatu cara, berkembang dari fakta bahwa Kaum Komunis bebas untuk memilih cara agresi mereka.  Karena mereka memilih untuk menyerang dari dalam, menggunakan kekuatan-kekuatan subversi dan gerilia, kita, juga, harus mendapatkan taktik-taktik baru.   Untuk kepentingan ini, AS telah menyelenggarakan pelatihan sejumlah pasukannya dalam perang gerilia.  Pemerintah kita telah mengirim kelompok-kelompok yang terlatih khusus demikian ke negara-negara sekutu yang membutuhkan bantuan dalam memerangi pemberontak-pemberontak komunis.  Di Vietnam Selatan, misalnya, pasukan-pasukan khusus Amerika telah mengambil suatu peranan penting dalam peperangan melawan pejuang-pejuang gerilia Komunis.

Konsep kebijakan (pertahanan) militer defensif di sini dideskripsikan dalam bentuk-bentuk beberapa atribut.  Dapatkah anda mengidentifikasi konsep-konsep tambahan dan atribut-atribut yang terkait dalam bacaan itu?
Untuk contoh yang lainnya, mari kita memperhatikan dua konsep tentang kriminalitas yang terdapat dalam literatur profesional.  Atribut-atributnya dicetak miring.

Secara tradisional seorang penjahat dikaitkan dengan karakteristik-karakteristik yang tegas dan istimewa dari motivasi dan fisik, mental, dan sosial.  Secara historis, kejahatan dianggap berasal dari kebejatan moral  bawaan, hasrat akan kejahatan dalam abnormalitas konstitusional, defisiensi mental, psikopatologi, dan banyak kondisi lainnya yang lekat pada individu.  Dengan hal ini para penjahat diberi makna sebagai sebuah kelas sosial yang tersendiri, secara kualitatif berbeda dari penduduk lainnya.

Atribut-atribut yang dominan dari kejahatan dideskripsikan di sini sebagai bersifat personal—penjahat adalah sebuah jenis pribadi yang berbeda dari yang bukan penjahat.  Bandingkan hal ini dengan konsep dalam bacaan yang berikut tentang lima bersaudara nakal (delinquent):

Karier kenakalan kelima bersaudara itu berasal dalam praktek-praktek  kelompok bermain dan geng yang pernah mereka alami ketika anak-anak.  Pada awalnya perbuatan mencuri adalah peranan dari drama kehidupan jalanan yang tak terbedakan.  Dari permulaan-permulaan yang sederhana ini, kelima bersaudara itu bergerak maju dalam mencuri, melalui sarana sosial, ke arah bentuk-bentuk  yang lebih rumit, lebih serius, dan lebih khusus.   Situasi dalam masyarakat sekitar tempat tinggal tidak hanya gagal menawarkan penolakan yang terorganisasi terhadap perkembangan ini, tetapi mengandung unsur-unsur yang mendorong kejahatan itu dan menjadikan perbuatan apapun lainnya menjadi sulit.

Konsep yang dikaitkan dengan kata penjahat sekarang memiliki atribut-atribut sosial daripada personal.  Bacaan-bacaan ini, sesungguhnya, berhasil dalam membantu kita mempertentangkan dua konsep kejahatan.
Prosedur untuk penganalisisan konsep-konsep dalam material yang nir-organisasi melibatkan (1) penentuan konsep (misalnya, kebijakan pertahanan);  (2) pengidentifikasian atribut-atribut yang digunakan;  (3) diskusi kecukupan dan kesesuaian atribut-atribut;  dan (4) pembandingan contoh-contoh dengan bacaan lainnya yang menggunakan konsep yang sama.  Pada umumnya, gerak maju pada penganalisisan konsep-konsep dalam material nir-organisasi adalah bagian dari suatu runtunan pengajaran dalam kegiatan penguasaan konsep.  Versi ketiga penguasaan konsep ini jauh lebih merupakan diskusi kelompok daripada sebuah kegiatan pengajaran seperti dalam variasi resepsi dan seleksi.  Peranan guru ialah memfasilitasi diskusi dan memastikan bahwa diskusi memusat pada perkembangan konsep dalam material.


Penerapan

Tiga Model Mengajar Penguasaan Konsep telah disajikan:  Model Resepsi, Model Seleksi, dan Model Material Nir-Organisasi.  Tiga model ini membentuk suatu kontinuum dari pengajaran langsung di bawah kondisi-kondisi yang distrukturkan oleh guru hingga pengajaran tidak langsung yang kontrol ada di tangan siswa dan penerapan pengajaran dalam situasi yang natural.
Penggunaan suatu model menentukan bentuk kegiatan-kegiatan belajar tertentu.  Misalnya, jika tekanan ialah pada penguasaan sebuah konsep baru guru hendaknya menekankan melalui pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentarnya atribut-atribut dalam masing-masing contoh (khususnya contoh-contoh positif) dan label konsep.  Jika tekanan pada proses induktif, guru hendaknya menyediakan sedikit petunjuk dan mendorong siswa untuk partisipatif dan tekun.  Isi (konsep) tertentu bisa jadi kurang penting daripada partisipasi dalam proses induktif;  konsepnya bisa jadi sudah diketahui siswa.  Jika tekanan adalah pada analisis berpikir, sebuah sample singkat kegiatan penguasaan konsep dapat dikembangkan agar lebih banyak waktu dicurahkan pada analisis berpikir.
Model Penguasaan Konsep dapat digunakan pada semua umur dan jenjang kelas.  Kami sudah melihat guru-guru menggunakan model ini secara sangat berhasil dengan anak-anak TK, yang menyukai tantangan kegiatan induktif.  Bersama anak-anak usia dini konsep dan contoh-contohnya harus relatif sederhana, dan pelajarannya sendiri harus pendek dan sangat diarahkan guru.  Kurikulum yang khas untuk anak-anak usia dini berisi konsep-konsep konkrit yang mendukung metodologi penguasaan konsep.  Tahap analisis strategi berpikir (tahap tiga) bersifat tidak mungkin dilakukan dengan anak-anak yang sangat dini usianya, namun banyak siswa SD jenjang akhir akan responsif terhadap jenis kegiatan refleksif ini.
Ketika model ini digunakan pada pendidikan anak usia dini, material untuk contoh-contoh sering tersedia dan mempersyaratkan sedikit transformasi untuk penggunaannya sebagai contoh-contoh.  Benda-benda di kelas, cuisinaire rods, gambar-gambar, dan beragam wujud benda dapat ditemukan di hampir semua ruang kelas anak usia dini.  Sementara membantu anak-anak bekerja secara induktif dapat merupakan tujuan yang penting itu sendiri, guru hendaknya juga memiliki tujuan-tujuan yang lebih khusus untuk dicapai melalui penggunaan model ini.
Di jenjang sekolah menengah strategi seleksi dan strategi data nir-organisasi akan lebih bermanfaat daripada di jenjang sekolah dasar.  Juga, penyajian model ini mungkin untuk menjadi kurang formal.  Sebagaimana dengan semua model, kami mendorong guru-guru untuk mengambil esensi dari model ini dan memadukannya kedalam gaya dan bentuk mengajar guru yang natural.  Dalam kasus penguasaan konsep, adalah relatif mudah (dan berpengaruh secara intelektual) untuk memadukan gagasan-gagasan Bruner tentang hakikat konsep kedalam penyajian-penyajian pengajaran dan kegiatan-kegiatan penilaian.  Kami sudah melihat para mahasiswa kami sendiri menjadikan gagasan-gagasan tersebut sebagai sebuah bagian yang natural dari pengajaran konsep mereka.
Model Penguasaan Konsep adalah sebuah alat yang unggul ketika guru-guru ingin menentukan apakah gagasan-gagasan yang penting yang sudah diajarkan sebelumnya sudah dikuasai atau belum.  Secara cepat tampaklah kedalaman pemahaman siswa dan memperkuat pengetahuan yang sebelumnya.
Model ini juga dapat bermanfaat dalam pembukaan sebuah bidang konseptual yang baru.  Misalnya sebuah unit eksplorasi konsep budaya dapat dimulai dengan serangkaian pelajaran penguasaan konsep yang diikuti oleh simulasi para siswa yang mengalami permasalahan yang orang-orang dari sebuah budaya alami ketika mereka pertama berkenalan dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.  Dari pengalaman ini, para siswa dipersiapkan untuk membaca tentang budaya yang berbeda-beda.
Dengan demikian, Model Penguasaan Konsep tidak hanya dapat memperkenalkan serangkaian besar penyelidikan terhadap bidang-bidang yang penting, tapi juga dapat menambah nilai bagi kegiatan induktif yang sedang dilakukan.  Pelajaran-pelajaran penguasaan konsep yang menyediakan konsep-konsep yang penting dapat disisipkan kedalam kegiatan induktif.  Misalnya, dalam unit-unit studi sosial, konsep-konsep seperti “demokrasi,” “sosialisme,” dan “kapitalisme” dapat disisipkan secara berkala kedalam unit-unit.  Jika sebuah konsep bersifat kontroversial, guru dapat menyajikan beberapa interpretasinya, yang kemudian dapat diperdebatkan para siswa.  Debat-debat yang demikian biasanya merupakan motivator-motiovator yang hebat untuk penyelidikan lebih lanjut tentang materi subjek yang dipertanyakan.                      

TIGA MODEL MENGAJAR PENGUASAAN KONSEP


MODEL BERORIENTASI-RESEPSI

MODEL BERORIENTASI-SELEKSI

MODEL MATERIAL
NIR-ORGANISASI
Sintaks (Rancangan Aktivitas)
Sintaks
Sintaks
TAHAP I  
PENYAJIAN DATA DAN IDENTIFIKASI KONSEP:
Guru menyajikan contoh-contoh berlabel.
Para siswa membandingkan atribut-atribut dalam contoh-contoh positif dan negatif.
Para siswa membuat dan menguji hipotesis-hipotesis
Para siswa merumuskan sebuah definisi sesuai dengan atribut-atribut esensial.
TAHAP I
PENYAJIAN DATA DAN IDENTIFIKASI ATRIBUT:
Guru menyajikan contoh-contoh tanpa label.
Para siswa menyelidiki contoh-contoh mana yang positif, termasuk contoh-contoh mereka sendiri.
Para siswa menyusun dan menguji hipotesis-hipotesis
TAHAP I
DESKRIPSI KONSEP SEBAGAIMANA ADANYA:
Menentukan dan melabeli konsep.
Mengidentifikasi atribut-atribut yang digunakan.
TAHAP II
PENGUJIAN PENGUASAAN KONSEP:
Para siswa mengidentifikasi contoh-contoh tambahan yang tanpa label.
Guru mengkonfirmasi hipotesis-hipotesis, menamai konsep, dan menyatakan ulang definisi sesuai dengan atribut-atribut esensial.
Para siswa mengupayakan contoh-contoh sendiri.
TAHAP II
PENGUJIAN PENGUASAAN KONSEP:
Para siswa menidentifikasi contoh-contoh tambahan tanpa label.
Para siswa menghasilkan contoh-contoh.
Guru mengkonfirmasi hipotesis-hipotesis:  menamai  konsep dan menyatakan ulang definisi sesuai dengan atribut-atribut esensial.
TAHAP II
EVALUASI KONSEP:
Mendiskusikan kecukupan dan kesesuaian konsep-konsep yang digunakan.
Membandingkan contoh-contoh dengan data lainnya yang menggunakan konsep yang sama.
TAHAP III
ANALISIS STRATEGI BERPIKIR:
Para siswa mendeskripsikan pikiran-pikirannya
Para siswa mendiskusikan peranan hipotesis-hipotesis dan atribut-atribut.
Para siswa mendiskusikan tipe dan jumlah hipotesis.
TAHAP III
ANALISIS STRATEGI BERPIKIR:
Para siswa mendeskripsikan pikiran-pikiran mereka.
Para siswa mendiskusikan peranan hipotesis dan atribut-atribut.
Para siswa mendiskusikan jenis dan jumlah hipotesis.


--
Sistem Sosial


Model ini memiliki struktur yang moderat.  Guru mengontrol tindakan-tindakan, tetapi dapat dikembangkan menjadi dialog bebas.  Interaksi siswa diupayakan.  Secara relatif terstruktur dengan para siswa menjadi lebih berinisiatif untuk proses induktif ketika mereka memperoleh lebih banyak pengalaman dengan model ini (model-model penguasaan konsep yang lainnya bersifat kurang terstruktur).



--



--
Prinsip Reaksi


1.       Memberi dukungan tetapi menekankan sifat hipotetis diskusi.
2.       Membantu para siswa menyeimbangkan sebuah hipotesis melalui perbandingan dengan hipotesis lainnya.
3.       Memusatkan perhatian pada ciri-ciri khusus dari contoh-contoh.
4.       Membantu para siswa dalam diskusi dan evaluasi strategi-strategi berpikir.
5.                          



--



--
Sistem Pendukung


Dukungan terdiri atas materail dan data yang terpilih cermat dan terorganisasi dalam bentuk satuan-satuan yang diskrit yang berfungsi sebagai contoh-contoh.  Ketika para siswa menjadi lebih canggih, mereka dapat bekerja sama dalam penyusunan satuan-satuan data (sebagaimana dalam tahap dua, (“Mengupayakan Contoh-contoh”).


--


--

Sumber:

Joyce, Bruce dan Weill, Marsha, (1980), Models Of Teaching, Prentice-Hall, Inc., Englewood, New Jersey.
Weisman, Herman M., (1984), Basic Technical Writing, fourth Edition, Charles E. Marril Publishing Co., Ohio.  
 

Posmoderisme dan Implikasinya Dalam Pendidikan

POSMODERNISME DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN *)
Dipetik dan disadur oleh: Dharma Kesuma dan Atang Andiwijaya
FSP FIP UPI, 2003-04-29

Pendahuluan
Posmodernisme bukan hanya sebuah gerakan filosofis; ia adalah juga, misalnya, gerakan arsitektur, seni grafis, tari, musik, sastra, dan teori sastra. Sebagai sebuah fenomenon cultural yang umum, ia memiliki ciri-ciri seperti menantang kebiasaan, pencapuran gaya, toleran terhadap ketaksaan, menekankan keragaman, menerima (bahkan merayakan) inovasi dan perubahan, menekankan keterkonstruksian realitas.
Pormodernisme filosofis tidak mewakili sebuah sudut pandang tunggal. Ada posmodernis progresif dan yang konservatif, ada yang “resistence” (kebal, tak acuh) dan ada yang “reaksioner”, ada yang posmodernis yang sangat demam reformis dan yang lainnya yang berkonsentrasi pada omong kosong. Ada yang ajarannya ketat dan ada yang longgar. Terdapat debat yang menetap di kalangan mereka yang disebut kaum posmodernis tentang bagaimana seorang posmodernis yang sejati menghampiri kehidupan dan penyelidikan dan karena itu apa kualifikasi dari posmodernisme.
Nama-nama yang paling sering dikaitkan dengan posmodernisme adalah Jeans-Fracois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Fouccault, dan Richard Rorty. Pendekatan-pendekatan teoritis yang paling umum dilihat sebagai posmodernis adalah dekonstruksion(isme), postrukturalisme; dan neopragmatisme. Bagaimanapun dari segi tertentu dapat ditambahkan nama-nama lainnya, yakni Nietzsche, Wittgenstein akhir, Winch, Heidegger, Gadamer, dan Kuhn; dan pendekatan teoritis lainnya, yakni, perspektivalisme, filsafat pos-analitik, dan hermeneutika. Bahkan teori kritis Jurgen Habermas, dengan kaitannya dengan hermeneutika dan etika komunikatifnya, memiliki unsur-unsur posmodernisme yang jelas, meskipun penegasan Habermas bahwa ia lebih melanjutkan proyek modernitas daripada menolaknya. Melihat uraian ini, posmodernisme adalah kecenderungan yang sulit untuk dipersatukan, terdapat tumpang tindih yang sangat besar dalam pemikiran mereka, selain itu pemikirannya bersifat menyebar luas.
Realitas
Posmodernis telah membantu kita memahami realitas sebagai lebih kompleks daripada apa yang sudah kita bayangkan. Realitas tidak berada secara objektif, “di luar sana,” langsung tercerminkan oleh pikiran-pikiran kita. Sebagian realitas itu lebih merupakan sebuah kreasi manusia. Kita membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, minat, prasangka, dan tradisi cultural.
Akan tetapi realitas tidak sepenuhnya sebuah konstruksi insani, “dibuat oleh kita, tidak tersedia bagi kita,” sebagaimana telah diklaim oleh kaum posmodernis. Pengetahuan adalah produk dari sebuah interaksi antara gagasan-gagasan kita tentang dunia dan pengalaman kita tentang dunia. Semua pengalaman dipengaruhi oleh konsep-konsep kita: kita “melihat” apapun – bahkan benda-benda fisik – melalui lensa cultural. Akan tetapi pengaruh ini tidak sepenuhnya mengandalkan; lagi dan lagi realitas mengejutkan kita (sebagaimana sains modern telah memperlihatkannya) dalam cara-cara yang memaksa kita memodifikasi gagasan-gagasan kita. Kita dulu menganggap dunia adalah datar, misalnya, tetapi pada akhirnya kita dituntut untuk mengubah kesadaran kita.
Pandangan ini dapat tampak dekat secara membahayakan dengan pengertian Kant bahwa pengetahuan sebuah produk interaksi antara struktur mental dan data indrawi. Bagaimanapun, secara demikian struktur mental Kant adalah Innate dan universal dan data indrawinya adalah natural dan murni, maka posmodernis mellhat budaya dan pengalaman satu sama lain saling mempengaruhi secara mendalam. Kedua hal ini saling bergantung, dan berbeda hanya dalam derajat penentuan oleh manusia.
Sebuah akibat wajar dari pandangan tentang realitas yang interaktif ini adalah bahwa tidak terdapat perbedaan tajam fakta-nilai. Semua pernyataan factual mencerminkan nilai-nilai yang sesuai, dan semua kepercayaan nilai dikondisikan oleh asumsi-asumsi factual. Terdapat lagi sebuah perbedaan derajad yang membantu kita berbicara mengenai “fakta” dan “nilai”. Akan tetapi apa yang kita sebut fakta hanya sesuatu yang agak rendah dalam value-determined. Fakta-fakta tidak bebas dari nilai. Pengertian posmodernisme Foucault bahwa pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan, karena pengetahuan menerapkan nilai-nilai dari mereka yang cukup berkuasa untuk menciptakan dan mendedahkan (to disseminate)-nya.
Perubahan dan Perbedaan
Karena realitas sebagian adalah bergantung pada budaya, ia berubah sepanjang waktu, sebagaimana budaya juga berubah, dan berbeda-beda dari satu komunitas ke komunitas yang lainnya. Pengetahuan tidaklah abadi atau universal. Sekali lagi, bagaimanapun, kita tidak harus membesar-besarkan hal ini, sebagaimana posmodernis telah melakukannya. Terdapat “kepentingan yang bertahan lama” (enduring interest, Dewey) dan “kerangka acuan tentative” (Charles Taylor) yang menunjukkan kepada sebuah derajad kontinuitas; dan terdapat sejumlah keumuman dari budaya ke budaya dan barangkali pada keselurahan ras manusia.
Menolak kontinuitas dan keumuman yang padahal keduanya sesungguhnya berada, sebagaimana kecenderungan kaum posmodernis, adalah sama irasional dan tak-pragmatis seperti melihat pengetahuan sebagai abadi dan universal. Lebih lanjut lagi, kecenderungan posmodernis yang demikian memiliki konsekuensi praktis yang tidak menguntungkan, karena ia membiarkan orang-orang tanpa suatu dasar yang memadai untuk penghidupan harian. Menolak gagasan fundasi yang mantap, universal tentang realitas adalah sebuah hal, dan menolak adanya panduan yang berguna untuk penghidupan harian adalah hal yang lainnya lagi.
Bagaimanapun, posmodernis benar bahwa kita hendaknya berhati-hati terhadap generalisasi-generalisasi: mereka dapat mempercaya kita. Di belakang sebuah formula umum seperti “semua manusia rasional” atau “orang mengajar kesenangan” biasanya terdapat suatu keragaman yang amat sangat mengenal realitasnya dan interprestasinya. Kita hendaknya mencoba lebih sadar akan hal ini, dan juga lebih sering mengkualifikasikan klaim-klaim dengan kata-kata seperti “beberapa,” “banyak,” “kadang-kadang,” “sering.” Akan tetapi bahkan generalisasi-generalisasi yang berkualifikasi nilainya besar dalam kehidupan sehari-hari.
Metafisika
Posmodernisme sering dipahami oleh para pendukungnya sebagai mengakhiri metafisika, ontolog, epistemology, dan seterusnya, atas dasar bahwa tipe-tipe wacana ini mengansumsikan suatu realitas yang menetap, universal dan metode penyelidikan. Bagaimanapun, lebih baik kita beralih ke sebuah konsepsi yang sudah dimodifikasi mengenai bidang-bidang ini daripada menjauhinya secara sempurna. Tepatnya karena kta hidup dalam sebuah dunia “postmodern” yang berubah, terfragmentasi, kita membutuhkan stabilitas apapun yang dapat kita temukan. Dan penyelidikan terhadap pola-pola intelektual umum, moral, dan lainnya – sekalipun terbatas dan tentative – adalah bentuk yang syah dari “metafisika.”
Posmodernisme mempercayai bahwa mereka telah mengakhiri metafisika dan telah melemparkan tangganya jauh-jauh setelah mencapai tenggeran yang foundationless. Akan tetapi yang sesungguhnya tulisan-tulisan mereka penuh dengan asumsi-asumsi umum tentang budaya, hakikat manusia, nilai, penyelidikan. Sebagaimana Landon Bayer dan Daniel Liston amati, analisis posmodernis adalah paradoks, berisi “standpoints without footings” dan “talking about nothing.” Perhatikanlah bahwa kaum posmodernis selalu menolak bahwa hal ini adalah apa yang mereka kerjakan – Derrida dengan senang mengakui bahwa ia “menghapus” klaimnya sendiri; tetapi mengakui sebuah kekeliruan adalah berbeda dari mengatasinya.
Diri
Posmodernisme telah benar mempertanyakan gagasan tentang suatu diri atau “subjek” yang universal, tidak-berubah, terpadu yang berisi pengetahuan dan mengontrol apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuatnya. Ia telah memperlihatkan bahwa diri sangat dipengaruhi oleh budaya yang mengelilinginya, berubah bersamaan dengan budaya, dan terfragmentasi seperti budayanya. Pada suatu derajat adalah bukan kita yang berpikir, berbicara, dan bertindak tetapi budayalah yang berpikir, berbicara, dan bertindak melalui kita. Dalam banyak hal Rorty adalah benar ketika ia memberikan “diri moral” sebagai “sebuah jaringan kerja, kepercayaan-kepercayaan, hasrat-hasrat, dan emosi-emosi tanpa apapun dibelakangnya….secara menetap membentuk ulang dirinya sendiri… bukan dengan mengacu pada criteria umum… tetapi dengan cara sebarang yang dengan cara ini sel-sel menyesuaikan ulang dirinya sendiri untuk memenuhi tekanan lingkungan.
Bagaimanapun, adalah suatu pembesaran-pembesaran menyatakan bahwa karena diri adalah terbatas, terkondisi, dan terjadi secara kebetulan yang dengan cara ini ia tidak memiliki makna, identitas, atau kapasitas. Individu-individu boleh jadi tidak lebih penting daripada budaya, tetapi juga mereka juga tidak seburuk itu. Individu-individu sama terpadu dan berkarakter seperti masyarakat, dan mereka memiliki kapasitas yang besar (meskipun tidak-terbatas) untuk pengetahuan, ekspresi diri, dan pengaturan diri. Tidak ada dasarnya untuk menekankan budaya atau masyarakat dengan cara mengabaikan individu.
Dan hal yang sama dapat dikatakan untuk kelompok-kelompok khusus dalam sebuah budaya yang lebih besar: kelompok-kelompok etnik, ketegori-kategori gender, kelas-kelas sosioekonomik, dan seterusnya. Terdapat sebuah tendensi di kalangan posmodernis untuk menekankan kategori-kategori ini dengan mengabaikan individu-individu. Akan tetapi yang sesungguhnya dua individu dari latar belakang yang sama dari segi bangsa, etnitas, gender, agama, atau yang lainnya dapat sangat berbeda. Dan dua individu yang berbeda dalam semua hal tersebut pada gilirannya dapat memilliki “semangat yang sama” dengan memiliki suatu persahabatan yang akrab, bahkan sebuah perkawinan yang baik, dan persahabatan yang akrab, dan bersepakat dalam banyak hal penting. Individu-individu hanya sebagian dapat identik dengan kategori-kategori yang ada yang dialaminya.
Penyelidikan
Tilikan-tilikan kaum posmodernis mempersyaratkan suatu peralihan besar mengenai konsepsi kita tentang penyelidikan. Kita tidak lagi akan memandang diri kita sendiri sebagai sedang berupaya menyingkap a pre-existing reality; agaknya, kita terlibat dalam sebuah proses interaktif penciptaan pengetahuan. Kita sedang mengembangkan sebuah “working understanding” tentang realitas dan kehidupan, yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan kita. Dan karena kepentingan-kepentingan dan konteks berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lainnya dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya, apa yang kita capai sebagian adalah otobiografis; pengetahuan mencerminkan “personal narrative” kita “tapak” (site, situs) khusus kita di dunia.
Pada suatu batas, maka kita harus mempertanyakan pengertian kepakaran. Dalam bidang-bidang tertentu, sejumlah orang tahu lebih banyak dari pada orang-orang lainnya; tetapi perbedaannya, sejauh adanya, biasanya mengenai derajad. Apa yang disebut “pakar” sering sangat bergantung pada “yang bukan pakar” untuk mendapat masukan agar mereka memperoleh tilikan-tilikan yang bermakna; dank arena masing-masing individuj dan atau kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keadaan-keadaan yang berbeda-beda, “pengetahuan pakar” tidak dapat langsung diterapkan; pengetahuan ini harus sangat dimodifikasi untk suatu kasus khusus. Interaksi antara pakar dan bukan pakar, guru dan murid, sering dipahami dengan sebaik-baiknya sebagai sebuah dialog atau “percakapan” (istilah Rorty), yang di dalamnya terdapat saling pengaruh daripada sekedar pengalihan pengetahuan dari seseorang kepada orang lainnya.
Pengetahuan yang dicapai adalah juga lebih taksa dan tidak stabil dibandingkan dengan anggapan tentang pengetahuan yang kita miliki selama ini. Pengetahuan mengacu pada kebolehjadian (probabilities) daripada kepastian, bersifat lebih baik daripada yang terbaik; dan berkembang secara menetap sejalan dengan suatu interpretasi tertentu yang diberikan masing-masing individu atau kelompok, mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda. Dan sebagaimana telah ditunjukkan oleh posmodernis, bahasa menyesuaikan diri dengan baik terhadap “permainan” yang menetap dari interprestasi. Kata-kata tidak terikat pada konsep-konsep atau acuan-acuan yang tetap; mereka bergantung pada pengertian mereka dalam sebuah keseluruhan system kata-kata, sebuah system yang berubah sepanjang waktu dan berbeda-beda dari sebuah masyarakat bicara atau pengguna bahasa ke masyarakat lainnya.
Penyelidikan harus juga dihampiri secara “pragmatis.” Kita hendaknya tidak menuntut bahwa realitas, termasuk hakikat manusia, memiliki sebuah bentuk tertentu tetapi lebih berupa penerimaan terhadap apa yang berkembang. Jika altruism, misalnya, harus didasarkan sebagian pada perasaan-perasaan solidaritas kelompok, maka kita harus mengakui bahwa: tidak ada artinya bergantung pada suatu pandangan rasionalitas tentang motivasi moral yang tidak dapat berhasil.
Sekali lagi, bagaimanapun, kita hendaknya berhati-hati untuk tidak membesar-besarkan hal-hal ini. Posmodernis sering menyerang pengertian-pengertian mengenai penalaran, pemikiran, teori, pengajaran means-end. Akan tetapi yang sesungguhnya terdapat suatu tempat untuk hal-hal ini, dengan sebuah bentuk yang sudah dimodifikasi. Kita harus menggunakan penalaran sebaik seperti perasaan, intuisi, pengaruh social langsung, dan seterusnya. Kita harus berpikir pada suatu batas dalam bentuk-bentuk means-end agar kita mengetahui apa yang kita inginkan dalam kehidupan dan bagaimana mencapainya. Teori dianggap sebagai sebuah saling kaitan yang longgar dari generalisasi-generalisasi yang terpilih, adalah sangat penting dalam kehidupan harian. Pengajaran, sepanjang bersifat sangat dialogis, adalah perlu dan niscaya. Dan seterusnya. Semua dari hal ini dapat menimbulkan permasalahan jika mereka dipahami terlalu ketat dan diterima terlalu serius; tetapi tanpa mereka kita akan benar-benar tersesat.
Kita juga harus memenuhi syarat pengertian suatu pendekatan yang “pragmatis” terhadap penyelidikan. Sementara tidak ada fondasi-fondasi yang eksternal bagi realitas, tidak ada “traditional Kantian backup,” sebagaimana dikatakan Rorty, disitu terdapat kontinuitas internal yang bertugas sebagai titik acu yang penting. Maka adalah mungkin dan niscaya untuk mengembangkan “teori” yang menjelaskan fenomena tertentu dalam bentuk-bentuk kontinuitas ini. Posmodernisme sering memperlihatkan suatu ‘pragmatisme yang gampangan’ yang, sambil mengklaim bersifat terbuka dan toleran, adalah bersifat dangkal semata-mata, karena ia gagal mengembangkan dan menggunakan teori jenis ini; doktrinnya dengan demikian menjadi pernyataan-pernyataan dogmatic, tanpa penjelasan atau justifikasi.
Bentuk-bentuk Scholarship
Salah satu dari slogan-slogan posmodernisme adalah bahwa “tidak ada pusat” (there is no center), dan khususnya bahwa tidak ada tradisi yang sentral dari scholarship (yakni Eropasentris, kelas menengah, laki-laki dominan), sementara tradisi lainnya – Penduduk asli Amerika, Afro-Amerika, Islamic, feminis, kelas pekerja, misalnya-adalah hanya jajahan. Sesuai dengan hal ini ketika kita mempelajari scholarship Barat yang tradisional, kita hendaknya waspada terhadap bias kulit putih, kelas menengah, dan laki-lakinya; dan hendaknya (jika kita termasuk kedalam satu atau lebih kategori lain) menghampirinya sebagai sama, berharap menyumbang sebanyak seperti kita mempelajarinya.
Dengan penghampiran ini saya setuju, tetapi saya memiliki suatu persyaratan. Kita hendaknya tidak membesar-besarkan bias dalam scholarship Barat yang tradisional. Ada banyak yang kita pelajari dari scholarship tersebut, meskipun banyak juga yang harus kita tolak. Ini karena para penulis yang dimaksud, meskipun berkulit putih, kelas menengah atau kelas atas, dan laki-laki, adalah juga makhluk manusia, yang sedang berjuang dengan isu-isu dasariah umat manusia untuk dapat mempertahankan kehidupan, tumbuh, dan menemukan makna hidup. Bias etnis, kelas social, kepentingan gender tertentu adalah hanya bagian dari gambaran. Istilah-istilah seperti “Erosentris” dan “patrialcal” terlalu banyak beredar , seakan kata-kata ini memberikan setiap hal yang seorang individu atau kelompok lakukan, dan seakan setiap kekeliruan adalah karena bias ini. Seperti dicatat sebelumnya, orang-orang dengan berbagai ras, gender, religi, atau apapun dapat memiliki sejumlah besar kesamaan. Terdapat peluang besar bagi orang-orang dari berbagai kategori untuk saling mempelajari scholarship.
Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menganggap tradisi scholarship Barat sebagai bersifat sentral dan yang lainnya hanya menyumbang atau menambahi catatan kaki. Sebaiknya, kulit putih, kelas menengah, laki-laki sekedar menyumbang sejalan dengan setiap orang lainnya, dan suatu tradisi yang baru, bersama hendaknya scholarship pluralistic, bukan hanya sebuah modifikasi dari “the mainstream.”
Sebuah gagasan kunci, yang sejalan dengan pendapat saya sebelumnya tentang “diri”, adalah di samping scholarship anti-rasis, feminis, anti-kaum-tua, dan sebagainya kita membutuhkan scholarship individual.
BEBERAPA IMPLIKASI UNTUK PEDAGOGI
Para siswa di sekolah sejak usia dini hendaknya dibantu untuk melihat bagaimana gagasan-gagasan dan pranata pranata dijalin agar sesuai dengan nilai-nilai dan minat-minat orang: misalnya bagaimana sebuah buku gambar mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda dan latar belakang penulisnya, atau bagaimana pemrograman TV mempromosikan gaya-gaya hidup yang menguntungkan upaya-upaya komersial; atau bagaimana profesi kesehatan cenderung mendukung laki-laki melampaui perempuan; atau bagaimana kurikulum sekolah mencerminkan nilai-nilai bagian-bagian tertentu masyarakat. Hal ini tidak perlu menggunakan bahasa teknis, atau khususnya konfrontasional: studi yang demikian dapat bersifat langsung dan menjadi aspek yang menyenangkan dari kegiatan harian sekolah. Akan tetapi meskipun kita menanamkan jenis pengertian cultural-politis ini, kita mendukung persepsi siswa yang berkelanjutan mengenai dunia sebagai netral-nilai, tidak bermasalah, dan tidak berubah.
Anehnya, pertanyaan-pertanyaan Rorty terlibat dalam jenis masalah yang dihadap di sekolah ini. Ia menyatakan bahwa “pendidikan rendah” (SD dan SM) “adalah hampir sepenuhnya merupakan ikhwal sosialisasi, mengenai upaya menanamkan suatu pengertian kewarganegaraan.” Pendidikan rendah itu “hendaknya ditujukan utamanya pada pengkomunikasian yang cukup mengenai apa yang dianggap benar oleh masyarakat kepada anak-anak agar mereka dapat berfungsi sebagai seorang warga dari masyarakat itu. Apakah hal inii benar atau salah adalah bukan urusan pendidik, dalam kapasitas profesionalnya.” Bagi saya ini bagaimanapun merupakan suatu penghianatan dari arah utama posmodernisme yang luar biasa dan sulit untuk dipahami. Bagaimana sebuah masyarakat dapat berhasil dalam secara menetap “menghancurkan kerasnya konvensi,” sebagaimana kata Rorty, jika semua guru sekolahnya dan semua anak mudanya hingga usia delapan belas tahun dikembangkan dalam pengulatan konvensi yang single-minded? Dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi citra-diri dan kesejahteraan anak muda yang mulai mempertanyakan secara sistematis konvensi-konvensi kita dari usia kira-kira dua tahun? Saya setuju bahwa sekolah-sekolah hendaknya mengajari siswa tentang konvensi-konvensi dan pranata-pranata social, barangkali lebih dari yang mereka lakukan saat ini; tetapi terpadu dengan pengajaran ini adalah evaluasi fundamental dan kritik.
Pada saat yang sama ketika kita mendorong kritisisme terhadap “realitas” yang sudah diterima, bagaimanapun, kita harus membantu para siswa menemukan “fondasi” untuk penghidupan mereka, meskipun jenisnya kurang permanen. Lemahnya suatu pengertian tentang stabilitas dan arah hidup adalah salah satu masalah besar budaya kontemporer dan adalah sebuah factor dalam kecenderungan reaksioner dewasa ini dalam agama, politik, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Jika kita tidak mengakui kebutuhan ini, pengajaran anti-fondasionalis kita dapat berdampak sebaliknya dan pada suatu batas dapat menyebabkan para siswa (dan orang tua) menderita secara parah. Kita hendaknya bekerja dengan para siswa (dan orang tua, sedapat mungkin) dalam sebuah cara dialogis, mengenali pandangan-pandangan yang merupakan kombinasi yang sesuai dari yang lama dengan yang baru. Para siswa perlu menemukan nilai-nilai yang kokoh (yakni, rasional, estetik, pekerjaan) dan cita-cita (yakni, pluralistic, global, ekologis) yang tidak berkontradiksi dengan pengalaman mereka tentang realitas tetapi pada saat yang sama menyediakan sebuah dasar yang cukup untuk kehidupan harian.
Sebuah cara untuk memenuhi hal ini adalah dengan mengatakan sebagaimana saya sudah katakana dalam Bagian III, bahwa “metafisika” adalah penting. Sekolah-sekolah harus mendorong dan membantu para siswa untuk terlibat dalam penteorian yang umum tentang realitas dan kehidupan. Kaum posmodernis menekankan kepentingan konkrit, local adalah penting dan hendaknya diterapkan dalam pendidikan: studi-studi sekolah sering terlalu abstrak dan sedikit relevansinya. Akan tetapi pelajaran hendaknya memadukan yang konkrit dan yang umum. Pelajaran mengenai fakta-fakta dan keterampilan-keterampilan yang terkucil (isolated) dapat  menjadi membosankan dan tidak bermakna. Sering terjadi melalui penggambaran kaitan-kaitan yang luas antar fenomena dan eksplorasi implikasi-implikasi nilainya bahwa pelajaran menjadi hidup. Dan studi jenis yang lebih “teoritis” ini adalah perlu agar para siswa membangun sebuah pandangan dunia yang komprohensif dan way of life yang akan menyediakan mereka dengan keamanan, arah hidup, dan makna yang mereka butuhkan.
Seperangkat implikasi lainnya memiliki kaitan dengan tekanan demokratis dan dialogis dari posmodernisme, krisismenya terhadap motif kekuasaan dan pengurangan peranan pakar. Kita harus berpikir secara meningkat dalam bentuk-bentuk “guru dan siswa yang sedang belajar bersama,” lebih dari seseorang yang sedang mengatakan kepada pihak lain bagaimana untuk hidup dengan cara yang “top down”. Ini perlu dilakukan agar nilai-nilai dan minat siswa diterima, dan agar kekayaan pengalaman harian mereka menjadi tersedia bagi sesama siswa dan bagi guru.
Tentu saja, tingkat guru dapat dianggap sebagai seorang pakar berbeda-beda dari satu mata ajar ke mata ajar lainnya. Dalam sains dan matematika, misalnya, seorang guru dapat tahu lebih banyak dibandingkan dengan banyak siswa di kelas, semantara dalam nilai-nilai dan kehidupan keluarga hal ini kurang terjadi; berkenaan dengan sebuah topic nilai-nilai tertentu, yakni, intimidasi pihak yang lemah di halaman sekolah, seorang siswa dapat lebih tahu daripada seorang guru. Akan tetapi bahkan ketika guru memiliki pengetahuan yang lebih besar, kita hendaknya mempertanyakan penggunaan yang berlebihan suatu metode yang gurunya dominan. Lyotard telah menunjukkan tingkat para siswa saat ini di jenjang SMU dapat belajar dari bank-bank data yang terkomputerisasi, yang ia sebut sebagai “the Ensiklopedia of Tomorrow,” dan hal yang sama dapat terjadi berkenaan dengan para siswa di jenjang SD dan SLTP. Secara meningkat, para guru harus membantu para siswa “learn how to learn,” dengan menggunakan teknologi yang demikian. Sebuah keuntungan besar dari penyeledikan yang self-directed tersebut adalah bahwa melaluinya para siswa terlibat lebih aktif dalam menentukan apa yang mereka pelajari dan mengapa, dan dengan demikian mampu menyediakan saluran ekspresi bagi minat dan kebutuhan mereka.
Bagaimanapun, sementara saya mendukung sebuah pendekatan yang demokratis, dialogis di sekolah-sekolah saya percaya bahwa Lyotard (seperti kritikus pendidikan lainnya, Ivan Illich, sebelum dia) merendahkan pentingnya peranan guru dalam memotivasi dan menfasilitasi proses belajar. Aktivitas guru-guru dalam pengaturan pembelajaran di sekolah dan menjadikan material ajar tersedia pada saat-saat yang sesuai mengakibatkan siswa mempelajari banyak hal yang mereka tidak akan belajar jika hal itu tidak dilakukan guru. Adalah tidak cukup dengan hanya memberi siswa keterampilan-keterampilan belajar dan membiarkan mereka bebas: banyak orang yang berusia muda membutuhkan dorongan sementara belajar dan bantuan dalam rangka mempelajari apa yang mereka butuhkan untuk kehidupan di dunia saat ini. Barangkali ini hanya karena kelemahan budaya kontemporer: ia telah menjadikan orang-orang yang berusia muda terlalu bergantung pada bantuan orang dewasa. Atau barangkali ini adalah akibat dari ciri-ciri hakikat manusia yang lebih dasariah. Akan tetapi apapun alasannya sepanjang para siswa membutuhkan bantuan eksternal dalam rangka belajar, kita membenamkan kepala kita di pasir jika kita tidak menyediakannya. (Kita dari segala lainnya, juga membutuhkan bantuan dari para siswa kita dalam rangka belajar).
Dalam pendemokrasian pendidikan, maka kita hendaknya tidak hanya membongkar semua struktur dan berharap sesuatu terjadi, tetapi lebih mencoba untuk menciptakan struktur-struktur yang menyediakan dukungan yang dibutuhkan siswa dan memungkinkan mereka membuat suatu masukan yang signifikan dan memiliki control yang optimal atas proses belajar mereka. Sementara sekolah hendaknya sejauh mungkin bersifat dialogis, sekolah hendaknya bukan hanya sebuah kumpulan ketidaktahuan. Untuk menjadi efektif, dialog mempersyaratkan masukan yang kuat dalam banyak jenis: informasi, contoh, cerita, perasaan, gagaasan, teori, pandangan dunia, dan seterusnya. Gagasan tentang sebuah pendekatan yang demokratis adalah bukan bahwa struktur dan isi adalah tidak diperlukan, tetapi bahwa siswa (dan guru) hendaknya memiliki suatu hak yang besar mengenai bagaimana pembelajaran mereka di atur dan isi pelajaran apa yang tersedia bagi mereka.
BEBERAPA IMPLIKASI UNTUK FILSAFAT PENDIDIKAN
Ada banyak implikasi dari apa yang kita sudah diskusikan untuk filsafat pendidikan, tetapi sekali lagi saya harus selektif. Para mahasiswa pendidikan, juga mahasiswa atau siswa lainnya, hendaknya dibantu untuk melihat bahwa pengetahuan bergantung pada nilai, bergantung pada budaya, dan dapat berubah – bahwa kita tidak sedang mencari filasafat kehidupan dan pendidikan yang pasti, universal. Bagaimanapun pada saat yang sama mereka dibantu untuk mengenali kontinuitas dan keumuman yang menyediakan stabilitas dan arah bagi penghidupan mereka dan bagi praktek pengajaran mereka.
Sebuah cara untuk mencapai dua bentuk tujuan yang bertentangan, fondasionalisme dan sambil tetap membantu siswa mengembangkan “fondasi-fondasi” yang sederhana untuk kehidupan dan pendidikan adalah dengan mempelajari berbagai “bentuk scholarship” – yakni anti-rasis-feminis-individual, dan seterusnya-sebagaimana dijelaskan dalam Bagian II di atas. Dengan cara ini para siswa akan melihat bahwa teori secara niscaya dijalinkan kepada berbagai kelompok dan kebutuhan individual. Sebagaimana saya sudah bahas, bagaimanapun, hal ini tidak melibatkan penolakan tumpang tindih substansial antara berbagai bentuk scholarship. Memang, eksplorasi tentang apa yang sama yang dimiliki oleh berbagai kategori orang hendaknya menjadi sebuah aspek penting dan studi-studi kependidikan.
Pengajaran filsafat pendidikan, seperti pengajaran di sekolah, hendaknya juga sangat demokratis dan dialogis. Dengan cara ini energy siswa akan terlibat, nilai-nilai mereka dihargai, dan tilikan mereka menjadi tersedia bagi sesama siswa dan bagi profesornya. Jika kita mempercayai sebuah pendekatan yang demokratis kita hendaknya menjadikannya model bagi kita sendiri, hingga para siswa kita  memahami apa yang kita maksud dan menjadikan tersedianya kesempatan untuk mengembangkan sebuah pedagogi yang demokratis yang pada gilirannya akan mereka gunakan di sekolah.
Penerimaan suatu pendekatan demokratis yang tulen dan dialogis melibatkan suatu pemikiran ulang yang fundamental tentang hakikat filsafat - dan mengenai karya intelektual pada umumnya – dan mengenai peranan kita sebagai professor. Kita hendaknya tidak memandang riset kita tentang teori pendidikan sebagai sesuatu yang dapat dilaksanakan secara terkucil – dalam kesadaran atau dalam studi – dan kemudian digunakan sebagai sebuah kunci untuk membuka rahasia-rahasia pendidikan dan kehidupan. Sebagaimana Rorty mengatakannya:
….. karya intelektual… adalah hanya sebuah kasus khusus – persis seperti sesorang yang bekerja dengan tanda-tanda dan suara-suara apa yang orang-orang lain lakukan, dengan pasangan dan anak-anak mereka, sesama rekan kerja, peralatan dalam pekerjaan mereka, pembukuan keuangan dari bisnis mereka, harta benda yang tumpuk di rumah mereka, music yang mereka dengarkan, olah raga yang mereka lakukan, dan tonton, atau pohon-pohon yang mereka lewati dalam perjalanan mereka ke tempat kerja.
Para filsuf semata-mata menjalani kehidupan seperti setiap orang lain, menghadapi masalah yang sama seperti setiap orang lain, tetapi menggunakan sebuah bahasa yang berbeda (sering lebih berbeda daripada yang dibutuhkan). Kita hendaknya “membandingkan catatan” dengan orang-orang lain, termasuk dengan para siswa kita, tidak memaksakan usulan-usulan kita pada mereka.
Dalam hal ini, sikap posmodernis adalah sama seperti sikap hermeneutic, pada interpretasi Gadamer. Sebagaimana Dieter Misgeld menjelaskannya;
Hermeneutika.. adalah sebuah pola penyelidikan yang menolak untuk melegitimasi pengaturan apapun yang memihak pada peneliti untuk mengecualikan diri mereka sendiri sebagai topic dalam penilaian… Jika penyelidikan itu pada dirinya sendiri adalah sebuah aktivitas yang berlangsung dalam sebuah situasi, sebagaimana apa yang seseorang pelajari, penyelenggaraan kehidupan dari mereka yang menyelidiki hendaknya menjadi sebuah isu sebagaimana hubungan penyelidikan dengan kehidupan mereka.
Hal ini bukan merendahkan pentingnya teori, sebagaimana banyak posmodernis telah melakukannya. Ha ini utamanya pemahaman bahwa setiap orang secara menetap berteori tentang kehidupan – mencoba memperoleh makna dari kehidupan – termasuk para siswa di kelas kita “yang kurang mampu” secara akademis. Tugas kita sebagai professor bukan menghalangi siswa dengan pengetahuan sejarah filsafat dan penguasaan kita terhadap jargon teknis tetapi utamanya membantu mereka melihat bahwa mereka sedang berhubungan dengan isu yang sama seperti kita – dan terjadi selama hidup mereka – dan membantu mereka melakukan percakapan dengan para filsuf, kuno dan modern, dan teoriwan lainnya.
Bagaimanapun, sementara dengan cara ini teori pendidikan kita akan selalu berbentuk agas self-referensial, semakin luas dasar pengalaman kita akan lebih banyak pihak lain (termasuk para sisw kita) memperoleh pelajaran dari teori kita. Kita para professor pendidikan harus sejauh mungkin masuk kedalam masyarakat, keluarga, sekolah. Sebagaimana dicatat sebelumnya, filsafat bukan sebuah kunci teoritas yang membuka dunia praktek. Teori harus secara fundamental berakar dalam pengalaman praktis agar ia berhasil. Penyangkalan para professor pada umumnya bahwa kita “tidak dilengkapi” untuk berbicara tentang hal-hal praktis tampak rendah hati tapi yang sesungguhnya bersifat pongah; dah hal ini menggambarkan kekurang pahaman akan teori. Jika kita tidak dilengkapi untuk berbicara tentang praktek, kita tidak dilengkapi untuk berbicara tentang teori. Kita harus sejauh mungkin tertuju pada teori dan praktek. Itulah cara yang paling efektif untuk menyumbang pada pendidikan, yang merupakan tanggung jawab kita. Orang-orang yang mengkhususkan diri terutama dalam teori atau utamanya dalam praktek dapat memberikan suatu sumbangan, tetapi normalnya mereka akan menyumbang lebih bahkan dalam bidang spesialisasi mereka jika mereka melakukan keduanya. Jauh dari melakukan sebuah pekerjaan yang lebih baik dengan mengkhususkan diri dalam bidang teori, kita hampir tidak terhindari melakukan sebuah pekerjaan secara lebih buruk.
Yang terakhir, sebagaimana kita hendaknya mendorong para mahasiswa kita untuk berdialog dengan kita dan teoriwan lainnya daripada hanya “meminumnya,” maka kita sendiri hendaknya lebih kritis – atau dialogis – dalam berhubungan dengan apa yang disebut filsuf “murni.” Saya merasa pada umumnya bahwa para filsuf pendidikan selama beberapa decade yang lalu telah memperlihatkan terlalu banyak rasa hormat pada filsafat yang lalu telah memperlihatkan terlalu banyak rasa hormat pada filsafat murni. Kita cenderung mengutip orang-orang seperti Austin, Wittgenstein, Heidegger, Habermas, Foucault, Rorty, dan seterusnya daripada “menginterograsi” mereka. Sebagaimana anda lihat dalam makalah ini, saya mempercayai secara serius dalam menerima mereka; tetapi mereka, seperti kita, melakukan kesalahan-kesalahan besar. Saya merasa bahwa, dalam spirit posmodernisme yang baik, kita yang berada dalam pendidikan hendaknya mengembangkan sebuah citra positif tentang diri kita sebagai orang yang sensitive, berpengetahuan, bekerja jauh dalam “tapak” khusus kita, berinteraksi dengan para sarjana lainnya dan belajar dari mereka, tetapi mengalami banyak memberi sebanyak yang diperoleh dan tidak bisa sekedar “menerapkan” “temuan-temuan” filsafat murni.




MODERNISME/HUMANISME

Terdapat diri yang stabil, koheren, dapat mengetahui. Diri ini sadar, rasional, otonom, dan universal – tidak ada kondisi fisik atau perbedaan-perbedaan substansial yang mempengaruhi bagaimana diri ini beroperasi.
Pola – untuk – mengetahui yang dihasilkan oleh diri rasional objektif adalah sains, yang dapat menyediakan kebenaran-kebenaran universal tentang dunia, terlepas dari status individual orang yang mengetahuinya.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh sains adalah “kebenaran” dan bersifat abadi.
Pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan oleh sains (oleh diri objectif rasional yang mengetahui) akan selalu menuju kearah kemajuan dan kesempurnaan. Semua institusi dan praktek manusia dapat dianalisis  oleh sains (nalar/objectivitas) dan dikembangkan.
Nalar adalah pertimbangan yang tertinggi tentang apa yang benar, dan karena itu tentang apa yang hak (right), dan apa yang baik (apa yang legal dan apa yang etis). Kebebasan terbentuk dari kepatuhan pada hukum yang disesuiakan dengan pengetahuan yang ditemukan oleh penalaran.
Dalam sebuah dunia yang diatur oleh akal, kebenaran akan selalu sama dengan apa yang baik dan yang hak (dan yang indah), tidak mungkin terdapat konflik antara apa yang benar dengan apa yang baik (dan seterusnya).
Dengan demikian sain berkedudukan sebagai suatu paradigm untuk semua apapun dari pengetahuan yang berguna secara social. Sains bersifat netral dan objektif; saintis, orang yang menghasilkan pengetahuan saintifik melalui kemampuan rasional mereka yang nirbias, harus bebas mengikuti hukum-hukum penalaran, dan tidak termotivasi untuk kepentingang lain (seperti uang atau kekuasaan).
Bahasa, atau cara berekspresi yang digunakan dalam menghasilkan dan mendedahkan (to disseminate) pengetahuan, harus rasional juga, untuk rasional, bahasa harus transparan; ia harus berfungsi hanya untuk menyajikan dunia yang nyata (real) yang dapat dipersepsi atau yang dapat diamati oleh kesadaran yang rasional. Harus terdapat hubungan yang tetap dan objektif antara objek-objek persepsi dan kata-kata yang digunakan untuk menamai mereka (antara penunjuk dan tertunjuk, signifier and signified)


MODERNISME POSMODERNISME
Masyarakat modern bertumpu secara berkelanjutan pada oposisi biner antara tatanan dan nirtatanan. Tatanan, order, dicapai oleh rasio; sebaliknya nirtatanan adalah chaos. Tatanan adalah kulit putih, laki-laki, kelas menengah, sains, heteroseksual. Tatanan adalah topeng realitas yang adalah nirtatanan.
Tatanan diperlukan untuk stabilitas, chaos harus diakhiri. Stabilitas hendaknya menjadi total. Masyarakat modern mentotalisasi rasionalitas; sarananya adalah grand narratives; yakni cerita-cerita besar yang melegitimasi praktek-praktek masyarakat modern: demokrasi, sains-teknologi, ideology ekonomi dan politik, dll. Narasi kecil atau narasi local yang situasional, sementara, kontingen, tidak memuat klaim universitas, kebenaran, nalar, atau stabilitas.
Terdapat kata/tanda/penunjuk (signifier) dan realitas/tertunjuk (signified) yang stabil atau permanen (teori kebenaran respondensi). Yang ada hanya permukaan, tanpa kedalaman; hanya penunjuk, tanpa  yang tertunjuk.
Sebuah produk terdiri dari yang orsinil dan kopian Semuanya adalah kopian (simulacrum), realitas virtual atau simulasi.
Pengetahuan adalah sains, bukan narasi. Pengetahuan adalah baik, narasi adalah jelek, primitive, irrasional (dan dengan demikian berkaitan dengan wanita, anak-anak, suku primitive, dan orang gila).
Pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri. Pendidikan liberal (humanis) agar orang berpengetahuan, cerdas terdidik. Pengetahuan bersifat fungsional. Pengetahuan harus dapat di-“digital”-kan. Lawan pengetahuan adalah suara bising (noise), bukan kebodohan.
Kualifikasi pengetahuan: benar (kualitas teknis), baik atau adil (kualitas etis), indah (kualitas estetis) Paradigma language games Wittgenstein, setiap bidang kehidupan ibarat setiap permainan yang memiliki aturan main (bahasa) masing-masing.
Neopositivisme, riset kuantitatif Posmodernisme, riset kualitas.
SUMBER:
Beck, Clive. (1993). Postmodernism, Pedagogy, and Philosophy of Education, [Online]. Tersedia: [5 Mei 2003]
Klages, Mary Postmodernism, English Departement, University of Colorado, Boulder, English 2010 Homopage.