Selasa, 14 Februari 2012

Posmoderisme dan Implikasinya Dalam Pendidikan

POSMODERNISME DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN *)
Dipetik dan disadur oleh: Dharma Kesuma dan Atang Andiwijaya
FSP FIP UPI, 2003-04-29

Pendahuluan
Posmodernisme bukan hanya sebuah gerakan filosofis; ia adalah juga, misalnya, gerakan arsitektur, seni grafis, tari, musik, sastra, dan teori sastra. Sebagai sebuah fenomenon cultural yang umum, ia memiliki ciri-ciri seperti menantang kebiasaan, pencapuran gaya, toleran terhadap ketaksaan, menekankan keragaman, menerima (bahkan merayakan) inovasi dan perubahan, menekankan keterkonstruksian realitas.
Pormodernisme filosofis tidak mewakili sebuah sudut pandang tunggal. Ada posmodernis progresif dan yang konservatif, ada yang “resistence” (kebal, tak acuh) dan ada yang “reaksioner”, ada yang posmodernis yang sangat demam reformis dan yang lainnya yang berkonsentrasi pada omong kosong. Ada yang ajarannya ketat dan ada yang longgar. Terdapat debat yang menetap di kalangan mereka yang disebut kaum posmodernis tentang bagaimana seorang posmodernis yang sejati menghampiri kehidupan dan penyelidikan dan karena itu apa kualifikasi dari posmodernisme.
Nama-nama yang paling sering dikaitkan dengan posmodernisme adalah Jeans-Fracois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Fouccault, dan Richard Rorty. Pendekatan-pendekatan teoritis yang paling umum dilihat sebagai posmodernis adalah dekonstruksion(isme), postrukturalisme; dan neopragmatisme. Bagaimanapun dari segi tertentu dapat ditambahkan nama-nama lainnya, yakni Nietzsche, Wittgenstein akhir, Winch, Heidegger, Gadamer, dan Kuhn; dan pendekatan teoritis lainnya, yakni, perspektivalisme, filsafat pos-analitik, dan hermeneutika. Bahkan teori kritis Jurgen Habermas, dengan kaitannya dengan hermeneutika dan etika komunikatifnya, memiliki unsur-unsur posmodernisme yang jelas, meskipun penegasan Habermas bahwa ia lebih melanjutkan proyek modernitas daripada menolaknya. Melihat uraian ini, posmodernisme adalah kecenderungan yang sulit untuk dipersatukan, terdapat tumpang tindih yang sangat besar dalam pemikiran mereka, selain itu pemikirannya bersifat menyebar luas.
Realitas
Posmodernis telah membantu kita memahami realitas sebagai lebih kompleks daripada apa yang sudah kita bayangkan. Realitas tidak berada secara objektif, “di luar sana,” langsung tercerminkan oleh pikiran-pikiran kita. Sebagian realitas itu lebih merupakan sebuah kreasi manusia. Kita membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, minat, prasangka, dan tradisi cultural.
Akan tetapi realitas tidak sepenuhnya sebuah konstruksi insani, “dibuat oleh kita, tidak tersedia bagi kita,” sebagaimana telah diklaim oleh kaum posmodernis. Pengetahuan adalah produk dari sebuah interaksi antara gagasan-gagasan kita tentang dunia dan pengalaman kita tentang dunia. Semua pengalaman dipengaruhi oleh konsep-konsep kita: kita “melihat” apapun – bahkan benda-benda fisik – melalui lensa cultural. Akan tetapi pengaruh ini tidak sepenuhnya mengandalkan; lagi dan lagi realitas mengejutkan kita (sebagaimana sains modern telah memperlihatkannya) dalam cara-cara yang memaksa kita memodifikasi gagasan-gagasan kita. Kita dulu menganggap dunia adalah datar, misalnya, tetapi pada akhirnya kita dituntut untuk mengubah kesadaran kita.
Pandangan ini dapat tampak dekat secara membahayakan dengan pengertian Kant bahwa pengetahuan sebuah produk interaksi antara struktur mental dan data indrawi. Bagaimanapun, secara demikian struktur mental Kant adalah Innate dan universal dan data indrawinya adalah natural dan murni, maka posmodernis mellhat budaya dan pengalaman satu sama lain saling mempengaruhi secara mendalam. Kedua hal ini saling bergantung, dan berbeda hanya dalam derajat penentuan oleh manusia.
Sebuah akibat wajar dari pandangan tentang realitas yang interaktif ini adalah bahwa tidak terdapat perbedaan tajam fakta-nilai. Semua pernyataan factual mencerminkan nilai-nilai yang sesuai, dan semua kepercayaan nilai dikondisikan oleh asumsi-asumsi factual. Terdapat lagi sebuah perbedaan derajad yang membantu kita berbicara mengenai “fakta” dan “nilai”. Akan tetapi apa yang kita sebut fakta hanya sesuatu yang agak rendah dalam value-determined. Fakta-fakta tidak bebas dari nilai. Pengertian posmodernisme Foucault bahwa pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan, karena pengetahuan menerapkan nilai-nilai dari mereka yang cukup berkuasa untuk menciptakan dan mendedahkan (to disseminate)-nya.
Perubahan dan Perbedaan
Karena realitas sebagian adalah bergantung pada budaya, ia berubah sepanjang waktu, sebagaimana budaya juga berubah, dan berbeda-beda dari satu komunitas ke komunitas yang lainnya. Pengetahuan tidaklah abadi atau universal. Sekali lagi, bagaimanapun, kita tidak harus membesar-besarkan hal ini, sebagaimana posmodernis telah melakukannya. Terdapat “kepentingan yang bertahan lama” (enduring interest, Dewey) dan “kerangka acuan tentative” (Charles Taylor) yang menunjukkan kepada sebuah derajad kontinuitas; dan terdapat sejumlah keumuman dari budaya ke budaya dan barangkali pada keselurahan ras manusia.
Menolak kontinuitas dan keumuman yang padahal keduanya sesungguhnya berada, sebagaimana kecenderungan kaum posmodernis, adalah sama irasional dan tak-pragmatis seperti melihat pengetahuan sebagai abadi dan universal. Lebih lanjut lagi, kecenderungan posmodernis yang demikian memiliki konsekuensi praktis yang tidak menguntungkan, karena ia membiarkan orang-orang tanpa suatu dasar yang memadai untuk penghidupan harian. Menolak gagasan fundasi yang mantap, universal tentang realitas adalah sebuah hal, dan menolak adanya panduan yang berguna untuk penghidupan harian adalah hal yang lainnya lagi.
Bagaimanapun, posmodernis benar bahwa kita hendaknya berhati-hati terhadap generalisasi-generalisasi: mereka dapat mempercaya kita. Di belakang sebuah formula umum seperti “semua manusia rasional” atau “orang mengajar kesenangan” biasanya terdapat suatu keragaman yang amat sangat mengenal realitasnya dan interprestasinya. Kita hendaknya mencoba lebih sadar akan hal ini, dan juga lebih sering mengkualifikasikan klaim-klaim dengan kata-kata seperti “beberapa,” “banyak,” “kadang-kadang,” “sering.” Akan tetapi bahkan generalisasi-generalisasi yang berkualifikasi nilainya besar dalam kehidupan sehari-hari.
Metafisika
Posmodernisme sering dipahami oleh para pendukungnya sebagai mengakhiri metafisika, ontolog, epistemology, dan seterusnya, atas dasar bahwa tipe-tipe wacana ini mengansumsikan suatu realitas yang menetap, universal dan metode penyelidikan. Bagaimanapun, lebih baik kita beralih ke sebuah konsepsi yang sudah dimodifikasi mengenai bidang-bidang ini daripada menjauhinya secara sempurna. Tepatnya karena kta hidup dalam sebuah dunia “postmodern” yang berubah, terfragmentasi, kita membutuhkan stabilitas apapun yang dapat kita temukan. Dan penyelidikan terhadap pola-pola intelektual umum, moral, dan lainnya – sekalipun terbatas dan tentative – adalah bentuk yang syah dari “metafisika.”
Posmodernisme mempercayai bahwa mereka telah mengakhiri metafisika dan telah melemparkan tangganya jauh-jauh setelah mencapai tenggeran yang foundationless. Akan tetapi yang sesungguhnya tulisan-tulisan mereka penuh dengan asumsi-asumsi umum tentang budaya, hakikat manusia, nilai, penyelidikan. Sebagaimana Landon Bayer dan Daniel Liston amati, analisis posmodernis adalah paradoks, berisi “standpoints without footings” dan “talking about nothing.” Perhatikanlah bahwa kaum posmodernis selalu menolak bahwa hal ini adalah apa yang mereka kerjakan – Derrida dengan senang mengakui bahwa ia “menghapus” klaimnya sendiri; tetapi mengakui sebuah kekeliruan adalah berbeda dari mengatasinya.
Diri
Posmodernisme telah benar mempertanyakan gagasan tentang suatu diri atau “subjek” yang universal, tidak-berubah, terpadu yang berisi pengetahuan dan mengontrol apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuatnya. Ia telah memperlihatkan bahwa diri sangat dipengaruhi oleh budaya yang mengelilinginya, berubah bersamaan dengan budaya, dan terfragmentasi seperti budayanya. Pada suatu derajat adalah bukan kita yang berpikir, berbicara, dan bertindak tetapi budayalah yang berpikir, berbicara, dan bertindak melalui kita. Dalam banyak hal Rorty adalah benar ketika ia memberikan “diri moral” sebagai “sebuah jaringan kerja, kepercayaan-kepercayaan, hasrat-hasrat, dan emosi-emosi tanpa apapun dibelakangnya….secara menetap membentuk ulang dirinya sendiri… bukan dengan mengacu pada criteria umum… tetapi dengan cara sebarang yang dengan cara ini sel-sel menyesuaikan ulang dirinya sendiri untuk memenuhi tekanan lingkungan.
Bagaimanapun, adalah suatu pembesaran-pembesaran menyatakan bahwa karena diri adalah terbatas, terkondisi, dan terjadi secara kebetulan yang dengan cara ini ia tidak memiliki makna, identitas, atau kapasitas. Individu-individu boleh jadi tidak lebih penting daripada budaya, tetapi juga mereka juga tidak seburuk itu. Individu-individu sama terpadu dan berkarakter seperti masyarakat, dan mereka memiliki kapasitas yang besar (meskipun tidak-terbatas) untuk pengetahuan, ekspresi diri, dan pengaturan diri. Tidak ada dasarnya untuk menekankan budaya atau masyarakat dengan cara mengabaikan individu.
Dan hal yang sama dapat dikatakan untuk kelompok-kelompok khusus dalam sebuah budaya yang lebih besar: kelompok-kelompok etnik, ketegori-kategori gender, kelas-kelas sosioekonomik, dan seterusnya. Terdapat sebuah tendensi di kalangan posmodernis untuk menekankan kategori-kategori ini dengan mengabaikan individu-individu. Akan tetapi yang sesungguhnya dua individu dari latar belakang yang sama dari segi bangsa, etnitas, gender, agama, atau yang lainnya dapat sangat berbeda. Dan dua individu yang berbeda dalam semua hal tersebut pada gilirannya dapat memilliki “semangat yang sama” dengan memiliki suatu persahabatan yang akrab, bahkan sebuah perkawinan yang baik, dan persahabatan yang akrab, dan bersepakat dalam banyak hal penting. Individu-individu hanya sebagian dapat identik dengan kategori-kategori yang ada yang dialaminya.
Penyelidikan
Tilikan-tilikan kaum posmodernis mempersyaratkan suatu peralihan besar mengenai konsepsi kita tentang penyelidikan. Kita tidak lagi akan memandang diri kita sendiri sebagai sedang berupaya menyingkap a pre-existing reality; agaknya, kita terlibat dalam sebuah proses interaktif penciptaan pengetahuan. Kita sedang mengembangkan sebuah “working understanding” tentang realitas dan kehidupan, yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan kita. Dan karena kepentingan-kepentingan dan konteks berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lainnya dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya, apa yang kita capai sebagian adalah otobiografis; pengetahuan mencerminkan “personal narrative” kita “tapak” (site, situs) khusus kita di dunia.
Pada suatu batas, maka kita harus mempertanyakan pengertian kepakaran. Dalam bidang-bidang tertentu, sejumlah orang tahu lebih banyak dari pada orang-orang lainnya; tetapi perbedaannya, sejauh adanya, biasanya mengenai derajad. Apa yang disebut “pakar” sering sangat bergantung pada “yang bukan pakar” untuk mendapat masukan agar mereka memperoleh tilikan-tilikan yang bermakna; dank arena masing-masing individuj dan atau kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keadaan-keadaan yang berbeda-beda, “pengetahuan pakar” tidak dapat langsung diterapkan; pengetahuan ini harus sangat dimodifikasi untk suatu kasus khusus. Interaksi antara pakar dan bukan pakar, guru dan murid, sering dipahami dengan sebaik-baiknya sebagai sebuah dialog atau “percakapan” (istilah Rorty), yang di dalamnya terdapat saling pengaruh daripada sekedar pengalihan pengetahuan dari seseorang kepada orang lainnya.
Pengetahuan yang dicapai adalah juga lebih taksa dan tidak stabil dibandingkan dengan anggapan tentang pengetahuan yang kita miliki selama ini. Pengetahuan mengacu pada kebolehjadian (probabilities) daripada kepastian, bersifat lebih baik daripada yang terbaik; dan berkembang secara menetap sejalan dengan suatu interpretasi tertentu yang diberikan masing-masing individu atau kelompok, mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda. Dan sebagaimana telah ditunjukkan oleh posmodernis, bahasa menyesuaikan diri dengan baik terhadap “permainan” yang menetap dari interprestasi. Kata-kata tidak terikat pada konsep-konsep atau acuan-acuan yang tetap; mereka bergantung pada pengertian mereka dalam sebuah keseluruhan system kata-kata, sebuah system yang berubah sepanjang waktu dan berbeda-beda dari sebuah masyarakat bicara atau pengguna bahasa ke masyarakat lainnya.
Penyelidikan harus juga dihampiri secara “pragmatis.” Kita hendaknya tidak menuntut bahwa realitas, termasuk hakikat manusia, memiliki sebuah bentuk tertentu tetapi lebih berupa penerimaan terhadap apa yang berkembang. Jika altruism, misalnya, harus didasarkan sebagian pada perasaan-perasaan solidaritas kelompok, maka kita harus mengakui bahwa: tidak ada artinya bergantung pada suatu pandangan rasionalitas tentang motivasi moral yang tidak dapat berhasil.
Sekali lagi, bagaimanapun, kita hendaknya berhati-hati untuk tidak membesar-besarkan hal-hal ini. Posmodernis sering menyerang pengertian-pengertian mengenai penalaran, pemikiran, teori, pengajaran means-end. Akan tetapi yang sesungguhnya terdapat suatu tempat untuk hal-hal ini, dengan sebuah bentuk yang sudah dimodifikasi. Kita harus menggunakan penalaran sebaik seperti perasaan, intuisi, pengaruh social langsung, dan seterusnya. Kita harus berpikir pada suatu batas dalam bentuk-bentuk means-end agar kita mengetahui apa yang kita inginkan dalam kehidupan dan bagaimana mencapainya. Teori dianggap sebagai sebuah saling kaitan yang longgar dari generalisasi-generalisasi yang terpilih, adalah sangat penting dalam kehidupan harian. Pengajaran, sepanjang bersifat sangat dialogis, adalah perlu dan niscaya. Dan seterusnya. Semua dari hal ini dapat menimbulkan permasalahan jika mereka dipahami terlalu ketat dan diterima terlalu serius; tetapi tanpa mereka kita akan benar-benar tersesat.
Kita juga harus memenuhi syarat pengertian suatu pendekatan yang “pragmatis” terhadap penyelidikan. Sementara tidak ada fondasi-fondasi yang eksternal bagi realitas, tidak ada “traditional Kantian backup,” sebagaimana dikatakan Rorty, disitu terdapat kontinuitas internal yang bertugas sebagai titik acu yang penting. Maka adalah mungkin dan niscaya untuk mengembangkan “teori” yang menjelaskan fenomena tertentu dalam bentuk-bentuk kontinuitas ini. Posmodernisme sering memperlihatkan suatu ‘pragmatisme yang gampangan’ yang, sambil mengklaim bersifat terbuka dan toleran, adalah bersifat dangkal semata-mata, karena ia gagal mengembangkan dan menggunakan teori jenis ini; doktrinnya dengan demikian menjadi pernyataan-pernyataan dogmatic, tanpa penjelasan atau justifikasi.
Bentuk-bentuk Scholarship
Salah satu dari slogan-slogan posmodernisme adalah bahwa “tidak ada pusat” (there is no center), dan khususnya bahwa tidak ada tradisi yang sentral dari scholarship (yakni Eropasentris, kelas menengah, laki-laki dominan), sementara tradisi lainnya – Penduduk asli Amerika, Afro-Amerika, Islamic, feminis, kelas pekerja, misalnya-adalah hanya jajahan. Sesuai dengan hal ini ketika kita mempelajari scholarship Barat yang tradisional, kita hendaknya waspada terhadap bias kulit putih, kelas menengah, dan laki-lakinya; dan hendaknya (jika kita termasuk kedalam satu atau lebih kategori lain) menghampirinya sebagai sama, berharap menyumbang sebanyak seperti kita mempelajarinya.
Dengan penghampiran ini saya setuju, tetapi saya memiliki suatu persyaratan. Kita hendaknya tidak membesar-besarkan bias dalam scholarship Barat yang tradisional. Ada banyak yang kita pelajari dari scholarship tersebut, meskipun banyak juga yang harus kita tolak. Ini karena para penulis yang dimaksud, meskipun berkulit putih, kelas menengah atau kelas atas, dan laki-laki, adalah juga makhluk manusia, yang sedang berjuang dengan isu-isu dasariah umat manusia untuk dapat mempertahankan kehidupan, tumbuh, dan menemukan makna hidup. Bias etnis, kelas social, kepentingan gender tertentu adalah hanya bagian dari gambaran. Istilah-istilah seperti “Erosentris” dan “patrialcal” terlalu banyak beredar , seakan kata-kata ini memberikan setiap hal yang seorang individu atau kelompok lakukan, dan seakan setiap kekeliruan adalah karena bias ini. Seperti dicatat sebelumnya, orang-orang dengan berbagai ras, gender, religi, atau apapun dapat memiliki sejumlah besar kesamaan. Terdapat peluang besar bagi orang-orang dari berbagai kategori untuk saling mempelajari scholarship.
Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menganggap tradisi scholarship Barat sebagai bersifat sentral dan yang lainnya hanya menyumbang atau menambahi catatan kaki. Sebaiknya, kulit putih, kelas menengah, laki-laki sekedar menyumbang sejalan dengan setiap orang lainnya, dan suatu tradisi yang baru, bersama hendaknya scholarship pluralistic, bukan hanya sebuah modifikasi dari “the mainstream.”
Sebuah gagasan kunci, yang sejalan dengan pendapat saya sebelumnya tentang “diri”, adalah di samping scholarship anti-rasis, feminis, anti-kaum-tua, dan sebagainya kita membutuhkan scholarship individual.
BEBERAPA IMPLIKASI UNTUK PEDAGOGI
Para siswa di sekolah sejak usia dini hendaknya dibantu untuk melihat bagaimana gagasan-gagasan dan pranata pranata dijalin agar sesuai dengan nilai-nilai dan minat-minat orang: misalnya bagaimana sebuah buku gambar mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda dan latar belakang penulisnya, atau bagaimana pemrograman TV mempromosikan gaya-gaya hidup yang menguntungkan upaya-upaya komersial; atau bagaimana profesi kesehatan cenderung mendukung laki-laki melampaui perempuan; atau bagaimana kurikulum sekolah mencerminkan nilai-nilai bagian-bagian tertentu masyarakat. Hal ini tidak perlu menggunakan bahasa teknis, atau khususnya konfrontasional: studi yang demikian dapat bersifat langsung dan menjadi aspek yang menyenangkan dari kegiatan harian sekolah. Akan tetapi meskipun kita menanamkan jenis pengertian cultural-politis ini, kita mendukung persepsi siswa yang berkelanjutan mengenai dunia sebagai netral-nilai, tidak bermasalah, dan tidak berubah.
Anehnya, pertanyaan-pertanyaan Rorty terlibat dalam jenis masalah yang dihadap di sekolah ini. Ia menyatakan bahwa “pendidikan rendah” (SD dan SM) “adalah hampir sepenuhnya merupakan ikhwal sosialisasi, mengenai upaya menanamkan suatu pengertian kewarganegaraan.” Pendidikan rendah itu “hendaknya ditujukan utamanya pada pengkomunikasian yang cukup mengenai apa yang dianggap benar oleh masyarakat kepada anak-anak agar mereka dapat berfungsi sebagai seorang warga dari masyarakat itu. Apakah hal inii benar atau salah adalah bukan urusan pendidik, dalam kapasitas profesionalnya.” Bagi saya ini bagaimanapun merupakan suatu penghianatan dari arah utama posmodernisme yang luar biasa dan sulit untuk dipahami. Bagaimana sebuah masyarakat dapat berhasil dalam secara menetap “menghancurkan kerasnya konvensi,” sebagaimana kata Rorty, jika semua guru sekolahnya dan semua anak mudanya hingga usia delapan belas tahun dikembangkan dalam pengulatan konvensi yang single-minded? Dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi citra-diri dan kesejahteraan anak muda yang mulai mempertanyakan secara sistematis konvensi-konvensi kita dari usia kira-kira dua tahun? Saya setuju bahwa sekolah-sekolah hendaknya mengajari siswa tentang konvensi-konvensi dan pranata-pranata social, barangkali lebih dari yang mereka lakukan saat ini; tetapi terpadu dengan pengajaran ini adalah evaluasi fundamental dan kritik.
Pada saat yang sama ketika kita mendorong kritisisme terhadap “realitas” yang sudah diterima, bagaimanapun, kita harus membantu para siswa menemukan “fondasi” untuk penghidupan mereka, meskipun jenisnya kurang permanen. Lemahnya suatu pengertian tentang stabilitas dan arah hidup adalah salah satu masalah besar budaya kontemporer dan adalah sebuah factor dalam kecenderungan reaksioner dewasa ini dalam agama, politik, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Jika kita tidak mengakui kebutuhan ini, pengajaran anti-fondasionalis kita dapat berdampak sebaliknya dan pada suatu batas dapat menyebabkan para siswa (dan orang tua) menderita secara parah. Kita hendaknya bekerja dengan para siswa (dan orang tua, sedapat mungkin) dalam sebuah cara dialogis, mengenali pandangan-pandangan yang merupakan kombinasi yang sesuai dari yang lama dengan yang baru. Para siswa perlu menemukan nilai-nilai yang kokoh (yakni, rasional, estetik, pekerjaan) dan cita-cita (yakni, pluralistic, global, ekologis) yang tidak berkontradiksi dengan pengalaman mereka tentang realitas tetapi pada saat yang sama menyediakan sebuah dasar yang cukup untuk kehidupan harian.
Sebuah cara untuk memenuhi hal ini adalah dengan mengatakan sebagaimana saya sudah katakana dalam Bagian III, bahwa “metafisika” adalah penting. Sekolah-sekolah harus mendorong dan membantu para siswa untuk terlibat dalam penteorian yang umum tentang realitas dan kehidupan. Kaum posmodernis menekankan kepentingan konkrit, local adalah penting dan hendaknya diterapkan dalam pendidikan: studi-studi sekolah sering terlalu abstrak dan sedikit relevansinya. Akan tetapi pelajaran hendaknya memadukan yang konkrit dan yang umum. Pelajaran mengenai fakta-fakta dan keterampilan-keterampilan yang terkucil (isolated) dapat  menjadi membosankan dan tidak bermakna. Sering terjadi melalui penggambaran kaitan-kaitan yang luas antar fenomena dan eksplorasi implikasi-implikasi nilainya bahwa pelajaran menjadi hidup. Dan studi jenis yang lebih “teoritis” ini adalah perlu agar para siswa membangun sebuah pandangan dunia yang komprohensif dan way of life yang akan menyediakan mereka dengan keamanan, arah hidup, dan makna yang mereka butuhkan.
Seperangkat implikasi lainnya memiliki kaitan dengan tekanan demokratis dan dialogis dari posmodernisme, krisismenya terhadap motif kekuasaan dan pengurangan peranan pakar. Kita harus berpikir secara meningkat dalam bentuk-bentuk “guru dan siswa yang sedang belajar bersama,” lebih dari seseorang yang sedang mengatakan kepada pihak lain bagaimana untuk hidup dengan cara yang “top down”. Ini perlu dilakukan agar nilai-nilai dan minat siswa diterima, dan agar kekayaan pengalaman harian mereka menjadi tersedia bagi sesama siswa dan bagi guru.
Tentu saja, tingkat guru dapat dianggap sebagai seorang pakar berbeda-beda dari satu mata ajar ke mata ajar lainnya. Dalam sains dan matematika, misalnya, seorang guru dapat tahu lebih banyak dibandingkan dengan banyak siswa di kelas, semantara dalam nilai-nilai dan kehidupan keluarga hal ini kurang terjadi; berkenaan dengan sebuah topic nilai-nilai tertentu, yakni, intimidasi pihak yang lemah di halaman sekolah, seorang siswa dapat lebih tahu daripada seorang guru. Akan tetapi bahkan ketika guru memiliki pengetahuan yang lebih besar, kita hendaknya mempertanyakan penggunaan yang berlebihan suatu metode yang gurunya dominan. Lyotard telah menunjukkan tingkat para siswa saat ini di jenjang SMU dapat belajar dari bank-bank data yang terkomputerisasi, yang ia sebut sebagai “the Ensiklopedia of Tomorrow,” dan hal yang sama dapat terjadi berkenaan dengan para siswa di jenjang SD dan SLTP. Secara meningkat, para guru harus membantu para siswa “learn how to learn,” dengan menggunakan teknologi yang demikian. Sebuah keuntungan besar dari penyeledikan yang self-directed tersebut adalah bahwa melaluinya para siswa terlibat lebih aktif dalam menentukan apa yang mereka pelajari dan mengapa, dan dengan demikian mampu menyediakan saluran ekspresi bagi minat dan kebutuhan mereka.
Bagaimanapun, sementara saya mendukung sebuah pendekatan yang demokratis, dialogis di sekolah-sekolah saya percaya bahwa Lyotard (seperti kritikus pendidikan lainnya, Ivan Illich, sebelum dia) merendahkan pentingnya peranan guru dalam memotivasi dan menfasilitasi proses belajar. Aktivitas guru-guru dalam pengaturan pembelajaran di sekolah dan menjadikan material ajar tersedia pada saat-saat yang sesuai mengakibatkan siswa mempelajari banyak hal yang mereka tidak akan belajar jika hal itu tidak dilakukan guru. Adalah tidak cukup dengan hanya memberi siswa keterampilan-keterampilan belajar dan membiarkan mereka bebas: banyak orang yang berusia muda membutuhkan dorongan sementara belajar dan bantuan dalam rangka mempelajari apa yang mereka butuhkan untuk kehidupan di dunia saat ini. Barangkali ini hanya karena kelemahan budaya kontemporer: ia telah menjadikan orang-orang yang berusia muda terlalu bergantung pada bantuan orang dewasa. Atau barangkali ini adalah akibat dari ciri-ciri hakikat manusia yang lebih dasariah. Akan tetapi apapun alasannya sepanjang para siswa membutuhkan bantuan eksternal dalam rangka belajar, kita membenamkan kepala kita di pasir jika kita tidak menyediakannya. (Kita dari segala lainnya, juga membutuhkan bantuan dari para siswa kita dalam rangka belajar).
Dalam pendemokrasian pendidikan, maka kita hendaknya tidak hanya membongkar semua struktur dan berharap sesuatu terjadi, tetapi lebih mencoba untuk menciptakan struktur-struktur yang menyediakan dukungan yang dibutuhkan siswa dan memungkinkan mereka membuat suatu masukan yang signifikan dan memiliki control yang optimal atas proses belajar mereka. Sementara sekolah hendaknya sejauh mungkin bersifat dialogis, sekolah hendaknya bukan hanya sebuah kumpulan ketidaktahuan. Untuk menjadi efektif, dialog mempersyaratkan masukan yang kuat dalam banyak jenis: informasi, contoh, cerita, perasaan, gagaasan, teori, pandangan dunia, dan seterusnya. Gagasan tentang sebuah pendekatan yang demokratis adalah bukan bahwa struktur dan isi adalah tidak diperlukan, tetapi bahwa siswa (dan guru) hendaknya memiliki suatu hak yang besar mengenai bagaimana pembelajaran mereka di atur dan isi pelajaran apa yang tersedia bagi mereka.
BEBERAPA IMPLIKASI UNTUK FILSAFAT PENDIDIKAN
Ada banyak implikasi dari apa yang kita sudah diskusikan untuk filsafat pendidikan, tetapi sekali lagi saya harus selektif. Para mahasiswa pendidikan, juga mahasiswa atau siswa lainnya, hendaknya dibantu untuk melihat bahwa pengetahuan bergantung pada nilai, bergantung pada budaya, dan dapat berubah – bahwa kita tidak sedang mencari filasafat kehidupan dan pendidikan yang pasti, universal. Bagaimanapun pada saat yang sama mereka dibantu untuk mengenali kontinuitas dan keumuman yang menyediakan stabilitas dan arah bagi penghidupan mereka dan bagi praktek pengajaran mereka.
Sebuah cara untuk mencapai dua bentuk tujuan yang bertentangan, fondasionalisme dan sambil tetap membantu siswa mengembangkan “fondasi-fondasi” yang sederhana untuk kehidupan dan pendidikan adalah dengan mempelajari berbagai “bentuk scholarship” – yakni anti-rasis-feminis-individual, dan seterusnya-sebagaimana dijelaskan dalam Bagian II di atas. Dengan cara ini para siswa akan melihat bahwa teori secara niscaya dijalinkan kepada berbagai kelompok dan kebutuhan individual. Sebagaimana saya sudah bahas, bagaimanapun, hal ini tidak melibatkan penolakan tumpang tindih substansial antara berbagai bentuk scholarship. Memang, eksplorasi tentang apa yang sama yang dimiliki oleh berbagai kategori orang hendaknya menjadi sebuah aspek penting dan studi-studi kependidikan.
Pengajaran filsafat pendidikan, seperti pengajaran di sekolah, hendaknya juga sangat demokratis dan dialogis. Dengan cara ini energy siswa akan terlibat, nilai-nilai mereka dihargai, dan tilikan mereka menjadi tersedia bagi sesama siswa dan bagi profesornya. Jika kita mempercayai sebuah pendekatan yang demokratis kita hendaknya menjadikannya model bagi kita sendiri, hingga para siswa kita  memahami apa yang kita maksud dan menjadikan tersedianya kesempatan untuk mengembangkan sebuah pedagogi yang demokratis yang pada gilirannya akan mereka gunakan di sekolah.
Penerimaan suatu pendekatan demokratis yang tulen dan dialogis melibatkan suatu pemikiran ulang yang fundamental tentang hakikat filsafat - dan mengenai karya intelektual pada umumnya – dan mengenai peranan kita sebagai professor. Kita hendaknya tidak memandang riset kita tentang teori pendidikan sebagai sesuatu yang dapat dilaksanakan secara terkucil – dalam kesadaran atau dalam studi – dan kemudian digunakan sebagai sebuah kunci untuk membuka rahasia-rahasia pendidikan dan kehidupan. Sebagaimana Rorty mengatakannya:
….. karya intelektual… adalah hanya sebuah kasus khusus – persis seperti sesorang yang bekerja dengan tanda-tanda dan suara-suara apa yang orang-orang lain lakukan, dengan pasangan dan anak-anak mereka, sesama rekan kerja, peralatan dalam pekerjaan mereka, pembukuan keuangan dari bisnis mereka, harta benda yang tumpuk di rumah mereka, music yang mereka dengarkan, olah raga yang mereka lakukan, dan tonton, atau pohon-pohon yang mereka lewati dalam perjalanan mereka ke tempat kerja.
Para filsuf semata-mata menjalani kehidupan seperti setiap orang lain, menghadapi masalah yang sama seperti setiap orang lain, tetapi menggunakan sebuah bahasa yang berbeda (sering lebih berbeda daripada yang dibutuhkan). Kita hendaknya “membandingkan catatan” dengan orang-orang lain, termasuk dengan para siswa kita, tidak memaksakan usulan-usulan kita pada mereka.
Dalam hal ini, sikap posmodernis adalah sama seperti sikap hermeneutic, pada interpretasi Gadamer. Sebagaimana Dieter Misgeld menjelaskannya;
Hermeneutika.. adalah sebuah pola penyelidikan yang menolak untuk melegitimasi pengaturan apapun yang memihak pada peneliti untuk mengecualikan diri mereka sendiri sebagai topic dalam penilaian… Jika penyelidikan itu pada dirinya sendiri adalah sebuah aktivitas yang berlangsung dalam sebuah situasi, sebagaimana apa yang seseorang pelajari, penyelenggaraan kehidupan dari mereka yang menyelidiki hendaknya menjadi sebuah isu sebagaimana hubungan penyelidikan dengan kehidupan mereka.
Hal ini bukan merendahkan pentingnya teori, sebagaimana banyak posmodernis telah melakukannya. Ha ini utamanya pemahaman bahwa setiap orang secara menetap berteori tentang kehidupan – mencoba memperoleh makna dari kehidupan – termasuk para siswa di kelas kita “yang kurang mampu” secara akademis. Tugas kita sebagai professor bukan menghalangi siswa dengan pengetahuan sejarah filsafat dan penguasaan kita terhadap jargon teknis tetapi utamanya membantu mereka melihat bahwa mereka sedang berhubungan dengan isu yang sama seperti kita – dan terjadi selama hidup mereka – dan membantu mereka melakukan percakapan dengan para filsuf, kuno dan modern, dan teoriwan lainnya.
Bagaimanapun, sementara dengan cara ini teori pendidikan kita akan selalu berbentuk agas self-referensial, semakin luas dasar pengalaman kita akan lebih banyak pihak lain (termasuk para sisw kita) memperoleh pelajaran dari teori kita. Kita para professor pendidikan harus sejauh mungkin masuk kedalam masyarakat, keluarga, sekolah. Sebagaimana dicatat sebelumnya, filsafat bukan sebuah kunci teoritas yang membuka dunia praktek. Teori harus secara fundamental berakar dalam pengalaman praktis agar ia berhasil. Penyangkalan para professor pada umumnya bahwa kita “tidak dilengkapi” untuk berbicara tentang hal-hal praktis tampak rendah hati tapi yang sesungguhnya bersifat pongah; dah hal ini menggambarkan kekurang pahaman akan teori. Jika kita tidak dilengkapi untuk berbicara tentang praktek, kita tidak dilengkapi untuk berbicara tentang teori. Kita harus sejauh mungkin tertuju pada teori dan praktek. Itulah cara yang paling efektif untuk menyumbang pada pendidikan, yang merupakan tanggung jawab kita. Orang-orang yang mengkhususkan diri terutama dalam teori atau utamanya dalam praktek dapat memberikan suatu sumbangan, tetapi normalnya mereka akan menyumbang lebih bahkan dalam bidang spesialisasi mereka jika mereka melakukan keduanya. Jauh dari melakukan sebuah pekerjaan yang lebih baik dengan mengkhususkan diri dalam bidang teori, kita hampir tidak terhindari melakukan sebuah pekerjaan secara lebih buruk.
Yang terakhir, sebagaimana kita hendaknya mendorong para mahasiswa kita untuk berdialog dengan kita dan teoriwan lainnya daripada hanya “meminumnya,” maka kita sendiri hendaknya lebih kritis – atau dialogis – dalam berhubungan dengan apa yang disebut filsuf “murni.” Saya merasa pada umumnya bahwa para filsuf pendidikan selama beberapa decade yang lalu telah memperlihatkan terlalu banyak rasa hormat pada filsafat yang lalu telah memperlihatkan terlalu banyak rasa hormat pada filsafat murni. Kita cenderung mengutip orang-orang seperti Austin, Wittgenstein, Heidegger, Habermas, Foucault, Rorty, dan seterusnya daripada “menginterograsi” mereka. Sebagaimana anda lihat dalam makalah ini, saya mempercayai secara serius dalam menerima mereka; tetapi mereka, seperti kita, melakukan kesalahan-kesalahan besar. Saya merasa bahwa, dalam spirit posmodernisme yang baik, kita yang berada dalam pendidikan hendaknya mengembangkan sebuah citra positif tentang diri kita sebagai orang yang sensitive, berpengetahuan, bekerja jauh dalam “tapak” khusus kita, berinteraksi dengan para sarjana lainnya dan belajar dari mereka, tetapi mengalami banyak memberi sebanyak yang diperoleh dan tidak bisa sekedar “menerapkan” “temuan-temuan” filsafat murni.




MODERNISME/HUMANISME

Terdapat diri yang stabil, koheren, dapat mengetahui. Diri ini sadar, rasional, otonom, dan universal – tidak ada kondisi fisik atau perbedaan-perbedaan substansial yang mempengaruhi bagaimana diri ini beroperasi.
Pola – untuk – mengetahui yang dihasilkan oleh diri rasional objektif adalah sains, yang dapat menyediakan kebenaran-kebenaran universal tentang dunia, terlepas dari status individual orang yang mengetahuinya.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh sains adalah “kebenaran” dan bersifat abadi.
Pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan oleh sains (oleh diri objectif rasional yang mengetahui) akan selalu menuju kearah kemajuan dan kesempurnaan. Semua institusi dan praktek manusia dapat dianalisis  oleh sains (nalar/objectivitas) dan dikembangkan.
Nalar adalah pertimbangan yang tertinggi tentang apa yang benar, dan karena itu tentang apa yang hak (right), dan apa yang baik (apa yang legal dan apa yang etis). Kebebasan terbentuk dari kepatuhan pada hukum yang disesuiakan dengan pengetahuan yang ditemukan oleh penalaran.
Dalam sebuah dunia yang diatur oleh akal, kebenaran akan selalu sama dengan apa yang baik dan yang hak (dan yang indah), tidak mungkin terdapat konflik antara apa yang benar dengan apa yang baik (dan seterusnya).
Dengan demikian sain berkedudukan sebagai suatu paradigm untuk semua apapun dari pengetahuan yang berguna secara social. Sains bersifat netral dan objektif; saintis, orang yang menghasilkan pengetahuan saintifik melalui kemampuan rasional mereka yang nirbias, harus bebas mengikuti hukum-hukum penalaran, dan tidak termotivasi untuk kepentingang lain (seperti uang atau kekuasaan).
Bahasa, atau cara berekspresi yang digunakan dalam menghasilkan dan mendedahkan (to disseminate) pengetahuan, harus rasional juga, untuk rasional, bahasa harus transparan; ia harus berfungsi hanya untuk menyajikan dunia yang nyata (real) yang dapat dipersepsi atau yang dapat diamati oleh kesadaran yang rasional. Harus terdapat hubungan yang tetap dan objektif antara objek-objek persepsi dan kata-kata yang digunakan untuk menamai mereka (antara penunjuk dan tertunjuk, signifier and signified)


MODERNISME POSMODERNISME
Masyarakat modern bertumpu secara berkelanjutan pada oposisi biner antara tatanan dan nirtatanan. Tatanan, order, dicapai oleh rasio; sebaliknya nirtatanan adalah chaos. Tatanan adalah kulit putih, laki-laki, kelas menengah, sains, heteroseksual. Tatanan adalah topeng realitas yang adalah nirtatanan.
Tatanan diperlukan untuk stabilitas, chaos harus diakhiri. Stabilitas hendaknya menjadi total. Masyarakat modern mentotalisasi rasionalitas; sarananya adalah grand narratives; yakni cerita-cerita besar yang melegitimasi praktek-praktek masyarakat modern: demokrasi, sains-teknologi, ideology ekonomi dan politik, dll. Narasi kecil atau narasi local yang situasional, sementara, kontingen, tidak memuat klaim universitas, kebenaran, nalar, atau stabilitas.
Terdapat kata/tanda/penunjuk (signifier) dan realitas/tertunjuk (signified) yang stabil atau permanen (teori kebenaran respondensi). Yang ada hanya permukaan, tanpa kedalaman; hanya penunjuk, tanpa  yang tertunjuk.
Sebuah produk terdiri dari yang orsinil dan kopian Semuanya adalah kopian (simulacrum), realitas virtual atau simulasi.
Pengetahuan adalah sains, bukan narasi. Pengetahuan adalah baik, narasi adalah jelek, primitive, irrasional (dan dengan demikian berkaitan dengan wanita, anak-anak, suku primitive, dan orang gila).
Pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri. Pendidikan liberal (humanis) agar orang berpengetahuan, cerdas terdidik. Pengetahuan bersifat fungsional. Pengetahuan harus dapat di-“digital”-kan. Lawan pengetahuan adalah suara bising (noise), bukan kebodohan.
Kualifikasi pengetahuan: benar (kualitas teknis), baik atau adil (kualitas etis), indah (kualitas estetis) Paradigma language games Wittgenstein, setiap bidang kehidupan ibarat setiap permainan yang memiliki aturan main (bahasa) masing-masing.
Neopositivisme, riset kuantitatif Posmodernisme, riset kualitas.
SUMBER:
Beck, Clive. (1993). Postmodernism, Pedagogy, and Philosophy of Education, [Online]. Tersedia: [5 Mei 2003]
Klages, Mary Postmodernism, English Departement, University of Colorado, Boulder, English 2010 Homopage.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar